Rabu, 27 Februari 2008

MULTIKULTURALISME

pandangan tokoh muslim Zakiyuddin baidhawy

Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan
adalah bahwa realitas multikultural secara
langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri.
dalam konteks ini,
spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali
untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja
melalui pembacaan ulang
dan memperdengarkan kembali secara produktif
untuk menghadirkan kedalaman makna
yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama.


Rentang historis peradaban dunia membawa Islam terus berupaya mencari jalan untuk mengembangkan teknologi yang efektif bagi kehidupan majemuk. Berbagai tradisi filsafat, spiritualitas dan fiqhiyah telah memberi kontribusi penting untuk kemajuan dan pencarian bersama ini. Namun, evolusi kebudayaan sering menjelaskan bahwa gerakan yang diniatkan tidak selalu sesuai dengan cita-cita sosial umat Islam.

Pada faktanya relasi antar agama, antar etnik dan antar budaya – bahkan antar sesama Muslim itu sendiri -- terus mengalami kehancuran ketika perbedaan perspektif, pandangan dan ideologi saling konfrontasi dan berebut kepentingan. Kunci utama agar tetap bertahan tergantung pada cara kita belajar mengelola keragaman dan konflik. Nyata bahwa prioritas untuk menghadapi pluralitas dan multikulturalitas bangsa yang semakin canggih dan percepatannya melalui globalisasi, hanya memperoleh solusi praktis secara kreatif ketika berbagai pandangan dunia Islam dan non-Islam dapat saling berjumpa.

Islam perlu memanfaatkan momentum kebangkitan agama-agama di dunia yang terjadi sejak dekade 70-an, yang berbeda bentuk dan substansinya dari perkembangan pada pertengahan pertama abad 20. Dari segi bentuknya, agama-agama semakin menunjukkan kecenderungan semakin luwes dan umum (general) sebagai lawan dari agama-agama konfesional yang partikular. Dari segi substansinya, agama-agama mulai mengupayakan realisasi komunitas global universal dengan visi dan nasib bersama.

Dalam konteks ini, Islam seyogyanya muncul sebagai agama universal, agama general yang visible dalam penyebaran wacana dan gerakan perdamaian dan peduli terhadap lingkungan hidup. Kesempatan ini pula yang tidak boleh diabaikan Islam untuk menjadi pemain utama arus perubahan dunia menuju kedamaian sejati. Kita berharap, abad 21 akan menyaksikan sebuah kebangkitan religius-spiritual global baik dalam wilayah publik dan privat, meskipun peran marginal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat dilihat dalam kehidupan ini. Di sinilah pentingnya setiap agama mengembangkan dan menguji kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini, tak terkecuali Islam sebagai agama mayoritas.

Belajar dari kegagalan politik penguasa dalam mengelola masyarakat multikultural, paradigma etis Islam multikultural sudah saatnya menjadi sumber kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam multikultural adalah sebentuk perspektif teologis tentang penghargaan terhadap keragaman dan "sang lian" (the other). Suatu assessment teologis mengenai agama lain, kultur lain, dan etnik lain, dan penempatannya secara layak dalam wilayah tatanan publik etis. Ia merupakan teologi qur'ani yang membolehkan "sang lian" menjadi "yang lain" sebagai realitas yang secara etis diperkenankan atau bahkan keniscayaan. Inilah perspektif teologis abad 21 yang berkomunikasi melampaui bahasa dan tradisi partikular. Meminjam istilah Abdulaziz Sachedina, ini merupakan "sensibilitas ekumene" dari teologi multikulturalis yang menggambarkan perhatian dan kepedulian terhadap penduduk dunia, mempengaruhi kehidupan mereka melampaui batas-batas komunitas-komunitas keagamaan dan kultural. Tujuan luhur teologi multikulturalis (summum bonum) adalah pembebasan dari belenggu kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kezaliman, dan ketidakadilan sebagai akibat dari relasi kolonial atas-bawah, dominasi-subordinasi, superior-inferior, menindas-tertindas baik dalam hubungan antaragama, etnik dan budaya.

Sulam Ragam Rajut Harmoni

Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karenanya harus dikecam sebagai kemusyrikan dan sekaligus kejahatan atas kemanusiaan. Pesan disinyalir al-Qur'an 3:64: "Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Mantapkanlah manifesto kesetaraan dan keadilan (melalui dialog) antara kami dan kamu".

Dialog bukan semata percakapan bahkan pertemuan dua pikiran dan hati mengenai persoalan bersama, dengan komitmen untuk saling belajar dapat berubah dan berkembang. "Berubah" artinya dialog terbuka, jujur dan simpatik dapat membawa pada kesepahaman melalui mana prasangka, stereotip, dan celaan dapat dikurangi dan dieliminir. "Tumbuh" karena dialog mengantarkan pada informasi, klarifikasi dari sumber primer dan dapat mendiskusikannya secara terbuka dan tulus. Dialog merupakan pangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju kematangan cara beragama yang menghargai "kelainan" (the otherness).

Dengan demikian, nilai sawa' adalah menyangkut cara manusia melakukan perjumpaan dengan dan memahami diri sendiri dan dunia lain pada tingkat terdalam, membuka kemungkinan-kemungkinan untuk menggali dan menggapai selaksa makna fundamental kehidupan secara individual dan kolektif dengan berbagai dimensinya.

Secara eksperimental, sawa' tampil ke permukaan dan menjangkau perjumpaan antar dunia multikultural yang begitu luas. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama-agama, seolah kita mendapatkan pengalaman antarkultural (intercultural experiences). Seperti kita berjuang dengan pola-pola sejarah pertentangan berbagai pandangan dunia. Seperti kita melibatkan secara kreatif kekuatan-kekuatan besar dalam kehidupan sipil di mana pertempuran ideologi dan kehidupan terjadi. Pengalaman multikultural ini membuat kita mampu bangkit dan sadar dengan perspektif baru yang lebih memadai.

Pluralitas dan multikulturalitas untuk dialog, bukan pertentangan, adalah teknologi masa depan yang muncul dari pandangan rasional otentik berbasis wahyu progresif yang merupakan dasar bagi semua pengalaman keagamaan dan kultural. Dialog membawa pada pandangan dunia keagamaan dan kultural yang tidak parsial atau ideologi sipil yang tidak diskriminatif.

Sekali lagi, dialog adalah jiwa universal yang melampaui pertempuran agama-agama, konfrontasi pandangan ilmiah dengan kehidupan agama dan spiritual, alienasi dunia etnik yang destruktif, fragmentasi dan disintegrasi kehidupan batin individu, frustrasi kebudayaan-kebudayaan sekuler. Ini dalam upaya membuka ruang dan waktu publik di mana pluralitas pandangan dunia, perspektif, dan ideologi dapat maju bersama-sama dengan spirit perdamaian, rekonsiliasi, pengampunan, nirkekerasan dan berkeadaban.

Penemuan sangat nyata atas pengalaman multikultural yang demikian intensif merupakan suatu keharusan dan kebutuhan yang tak terelakkan. Penemuan ini adalah dasar dan sumber utama diluar perbedaan dan keragaman (diversity) pandangan dunia dan perspektif. Dengan memperoleh akses pada sumber bagi seluruh kehidupan kultural dan mengalaminya, menjadi sangat jelas bahwa umat manusia sedang berada di tengah-tengah transformasi diri yang mendalam dan kematangan kemanusiaan.

Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural secara langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Bangsa besar yang kedodoran ini telah terkunci dalam pola pikir egosentris. Pola pikir monolog yang membuat kita menderita dan mengalami kegagalan terbesar dalam mengelola pluralitas dan multikulturalitas. Kita merasakan betapa pedihnya kekerasan dan kehancuran relasi antara sesama atas nama etnik, budaya, politik, ideologi dan bahkan agama.

Dalam konteks ini, spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja, melalui pembacaan ulang dan memperdengarkan kembali secara produktif untuk menghadirkan kedalaman makna yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama. Spirit sawa' perlu ditumbuhkan kembali sebagai wahana transformasi diri dan transformasi sosial serta membangkitkan pola pikir dan pola hidup dialogis agar lebih dapat meraih kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan personal dan komunal. Seluruh kemajuan agama, spiritual, rasional, moral, dan politik dalam evolusi kebudayaan harus dikonstruk dalam kematangan dialog dan perjumpaan multikultural secara kreatIf


Perang Peradaban..

 by Samuel Huttington
Sepanjang sejarah manusia, banyak sekali terjadi peperangan dan yang terbesar adalah ialah Perang Dunia Pertama dan Kedua. Beberapa waktu yang lalu, para politikus dan cendikiawan Amerika telah memunculkan istilah Perang Dunia Ketiga dan Keempat. Istilah ini untuk pertama kali, digunakan oleh Profesor Elliot Cohen, dosen Universitas John Harbinger, Amerika, selepas peristiwa 11 September 2001. Dia menamakan perang dingin antara negara-negara Barat yang dipimpin oleh Amerika dengan Uni Soviet sebagai Perang Dunia Ketiga. Perang ini berakhir dengan kemenangan Barat dan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Menurut kepercayaan Cohen, Perang Dunia Keempat sedang terjadi antara Amerika dan dunia Islam, serta akan terus berlanjut. Suratkabar Al-Zaman terbitan London yang menukil pernyataan mantan Panglima Tentara AS, Jenderal Tommy Franks, menulis bahwa operasi militer ke Irak merupakan peperangan melawan terorisme dan Perang Dunia Keempat.

Perang ini dimulai pada 11 September dan berlanjut dengan invasi ke Afghanistan dan Irak. Proses ini akan berakhir di poros kejahatan. Oleh karena itu, menurut pandangan kelompok ambisius perang Gedung Putih, perang dengan dunia Islam merupakan awal dimulainya Perang Dunia Keempat dan akan terus berlanjut.

Untuk memahami pandangan kelompok neo konservatif Amerika mengenai perang dengan lebih detail, sebaiknya kita juga meninjau pandangan mereka mengenai perang. Doktor Hassan Abbasi, dosen Universitas dan ketua salah satu pusat penelitian Iran, mengenai masalah ini menyatakan, “Ideologi yang membangun peradaban Barat adalah liberalisme, nasionalisme, dan sosialisme. Perang-perang dunia yang telah terjadi merupakan perang antara ketiga ideologi Barat tersebut.”

James Woolsey, salah seorang pemimpin sayap neo konservatif dan bekas ketua CIA mengenai masalah ini mengatakan, “Perang Dunia Pertama, Kedua, dan Ketiga terjadi di dalam era modernisasi dan peradaban Barat.” Menurut penasehat pusat penelitian strategis Washington, Z. Brezensky, 175 juta orang di dunia telah terbunuh akibat ketiga perang yang menakutkan itu, yang merupakan hasil pertentangan dunia Barat dan keinginan mereka untuk menjadi pihak yang terkuat.

Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, oleh sebagian analis politik disebut sebagai kemenangan paham liberalisme terhadap sosialisme. Francis Fukuyama, seorang peneliti di sebuah lembaga penelitian yang terkait dengan Angkatan Udara Amerika, menyebut bahwa kemenangan liberalisme ini merupakan berakhirnya sejarah. Dia percaya bahwa liberalisme adalah fokus ideologi manusia dan ujung dari pemikiran manusia. Fukuyama dalam buku “Berakhirnya Sejarah” menulis, “Manusia hari ini telah sampai ke satu tahap di mana mereka tidak lagi dapat membedakan antara dunia hakiki dengan dunia hari ini, karena infrastruktur yang ada saat ini tidak menunjukkan indikasi akan berubah ke arah yang lebih baik.”

Di pihak lain, mengingat besarnya peran Amerika dalam era Perang Dingin, para politikus dan penulis Amerika menyebutkan bahwa negara inilah yang menguasai dunia selepas keruntuhan Uni Soviet. James Woolsey dengan menunjukkan bahwa dewasa ini, dari 192 negara dunia, 120 di antaranya menggunakan sistem demokratik, dia mengklaim bahwa Amerika memainkan peran yang mencolok dalam membangun sistem ini. William Kristol, salah seorang pemimpin sayap neo-konservatif Amerika menulis, “Amerika tidak saja harus menjadi polisi dunia, bahkan Amerika harus menjadi pembimbing warga dunia.” Melihat pandangan-pandangan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa para politikus dan pemikir Barat menginginkan agar konsep demokrasi liberal Barat dan kepemimpinan Amerika menguasai seluruh dunia.

Namun demikian, para teoritikus dan politisi Barat akan segera berhadapan dengan realitas yang lain. Bertentangan dengan apa yang mereka harapkan, sebuah paham lain tengah berkembang di dunia dan mempunyai pengikut yang banyak. Paham tersebut adalah ajaran Islam yang pada dekade terakhir ini mulai hidup kembali dan mendapatkan perhatian dari seluruh dunia, termasuk Amerika dan Eropah. Secara tertulis, paham liberalisme menjamin kebebasan penyampaian pendapat dan memiliki kepercayaan. Namun, dalam pelaksanaannya, kebebasan itu hanya berlaku bila tidak merugikan pemilik kekayaan dan kekuasaan. Kini, sejalan dengan berkembangnya nilai-nilai Islami, seperti tuntutan atas kebebasan dan kebencian terhadap kezaliman, orang-orang yang berpaham liberalisme itu melupakan konsep kebebasan mereka.

Karena akan merugikan kepentingan kaum berkuasa di Barat, agama Islam yang anti kezaliman ini malah ditekan dan ditentang. Dalam rangka inilah, Samuel Huttington, teoritikus Amerika menyajikan teori ‘perang antar peradaban’. Dalam teorinya itu, Hutington mempertentangkan peradaban Barat dengan peradaban-peradaban lain, khususnya Islam, dan akhirnya terjadi peperangan di antara peradaban itu. Peperangan inilah yang disebut oleh para teoritikus Amerika sebagai Perang Dunia Keempat.

Sebagian cendikiawan menyebut faktor lain yang menyebabkan kebencian Barat terhadap Islam. Mereka percaya bahwa pemerintah Barat, khususnya Amerika, senantiasa memerlukan musuh asing demi melaksanakan ambisinya untuk menguasai negara lain dan untuk menipu rakyatnya. Professor Noam Chomsky, pakar bahasa dan politik Amerika dalam suratkabar Al-Hayat menulis, “Hampir setiap 60 tahun, untuk melindungi dirinya, Barat selalu melukiskan gambar musuh khayalannya. Di sepanjang era Perang Dingin, Uni Soviet-lah yang harus memikul tanggungjawab sebagai musuh khayalan ini. Strategi menciptakan musuh dan membesar-besarkan adanya bahaya dapat menyibukkan rakyat. Rakyat akan diseret untuk percaya penuh kepada sistem yang sedang berkuasa dan lupa pada kondisi buruk di dalam negeri.”

Pemerintah dan penulis Amerika menjustifikasi kebencian Washington terhadap dunia Islam dengan berbagai cara. James Woolsey menyebut perang dengan dunia Islam adalah perlawanan antara kebebasan dan despotisme. Dengan mengubah realitas, dia mengklaim bahwa bukan Amerika yang memulai Perang Dunia Keempat, melainkan rezim Irak dan negara-negara Islam. Padahal, di pernyataan Woolsey lainnya, menunjukkan dengan jelas bahwa kelompok konfrontatif Gedung Putihlah yang menjadi penyebab utama invasi AS ke negara-negara Islam. Pada bulan September 2002, ketika menyampaikan teori tentang Perang Dunia Keempat, Woolsey mengatakan, “Amerika akan berhadapan dengan 22 negara dalam Perang Dunia Keempat ini. Kami telah menyerang Afghanistan dan Irak. Kini masih tersisa 20 negara lainnya. Di antara ke-20 negara itu, hanya Korea Utara yang bukan negara Islam. Negara ketiga yang akan kami serang ialah Suriah, negara keempat adalah Iran, dan negara kelima adalah Saudi Arabia.”

Di pihak lain, sejak beberapa tahun lalu, Barat telah melakukan serangan budaya ke negara-negara Islam dengan tujuan untuk menghapuskan identitas umat Islam. Dalam rangka ini, mereka menggunakan radio, televisi, satelit, internet, dan berbagai sarana komunikasi yang lain. Barat mengetahui, dengan menyeret umat Islam kepada kerusakan moral, mereka akan menjauhi nilai-nilai Islam seperti keadilan, anti kezaliman, spiritualitas, dan persahabatan. Sebaliknya, jika umat Islam menjalankan nilai-nilai dan ajaran Islam dengan konsisten, paham liberalisme, imperialisme, dan kapitalisme akan tumbang.

Namun demikian, banyak cendikiawan, termasuk dari Barat, percaya bahwa Perang Dunia Keempat yang ingin dilancarkan oleh kelompok neo konservatif AS tidak akan bisa menyelamatkan liberal-demokrasi dan sekularisme Barat, atau menghancurkan dan melemahkan Islam. Brezensky, analis strategis terkenal Amerika dan penasihat keamanan nasional pemerintahan James Carter menulis, “Saya tidak berpikir bahwa Barat dalam bentuknya sekarang merupakan standar yang terbaik bagi hak asasi manusia. Sekularisme Barat pada dasarnya merupakan sebuah gelombang kebudayaan yang memiliki paham bahwa sebuah kehidupan yang baik itu harus dipenuhi dengan kegairahan, kesenangan, dan konsumerisme. Namun, fitrah manusia jauh lebih tinggi dari kesenangan materi itu. Sekularisme sedemikian meluas di Barat sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan budaya. Oleh karena itu, saya berpikir bahwa posisi adidaya Amerika secara gradual akan musnah.”

Apapun juga, dengan dimulainya Perang Dunia Keempat oleh kelompok konfrontatif Gedung Putih dan kemenangan mereka dalam perang terhadap dua negara, yaitu Afghanistan dan Irak, sama sekali tidak bermakna bahwa mereka telah menguasai dunia Islam. Malah sebaliknya, langkah yang tidak berperi kemanusiaan ini, yang lahir dari jiwa tamak yang menguasai liberalisme Barat, akan menyeret Barat ke arah kehancurannya sendiri.

EKSISTENSI CINTA DAN RASA

Perasaan dalam pandangan Gibran adalah letupan hati yang memberikan ketentraman dan ketenangan jiwa. Dalam suasana yang demikian, perasaan dapat mengenyahkan keterasingan dan kehampaan batin lantas menciptakan suasana batin dengan kegembiraan yang meluap. Gibran melukiskan salah satu bentuk perasaan itu dalam pengalaman ciuman pertama (dlm Triloginya: Sang Nabi, Taman Sang Nabi, dan Suara Sang Guru, Yogyakarta, Pustaka Sastra, 2004)

“Kecapan pertama dari cangkir sang bidadari berisi anggur kehidupan yang sangat lezat. Garis pembeda antara keraguan yang melemahkan jiwa dan menyedihkan hati, dengan kepastian yang mengisi batin manusia dengan kegembiraan yang meluap. Intro bagi kehidupan dan awalan drama manusia sempurna. Ikatan yang menyatukan keterasingan masa lalu dengan cahaya masa depan, antara kebisuan perasaan dan senandung lagunya. Kata yang terucap oleh empat bibir, mengikrarkan bahwa hati adalah singgasana, cinta sebagai raja, dan kesetiaan adalah mahkotanya. Belaian lembut jemari angin semilir di atas kelopak mawar-teriring desah panjang pembebasan dan sebuah rintihan yang manis”

Gibran melanjutkan:

“Getar magis yang membawa para pencinta dari dunia yang penuh beban dan ukuran menuju dunia mimpi dan ilham. Penyatuan dari dua bunga yang harum semerbak, campuran dari keharuman mereka menciptakan jiwa ketiga. Bila pandangan pertama adalah benih yang ditaburkan sang dewi di ladang hati manusia, maka ciuman pertama adalah bunga di ujung dahan pohon kehidupan.”

Melalui perasaan rahasia terdalam jiwa manusia tersingkap. Dalam Senandung Asmara (dlm Martin L. Wolf (ed), Treasury of Kahlil Gibran, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002) Gibran mempertegas hakikat perasaan tidak hanya sebagai kembang inspirasi tetapi sebagai kebenaran.

“Akulah rumah sejati sang anugerah, dan mata air kenikmatan, sumber kedamaian dan ketenteraman. Akulah ungkapan penyair, khayalan para seniman, dan ilham para pemusik. Akulah warna dari zaman ke zaman, membangun hari ini dan merusak esok harinya; aku seperti dewa, pencipta reruntuhan; aku lebih manis dari senyum bunga; tapi lebih galak dari amuk samudera. Wahai para pencari, akulah kebenaran, kebenaran sejati yang kalian cari; kebenaran yang memberi dan menerima, rawatlah aku, dan kalian akan terlindungi.”

Kebenaran diungkapkan, menyembul lewat untaian puisi para penyair, lukisan para seniman, juga senandung dendang para pemusik. Penyair, pemusik dan seniman, bagi Gibran mengikuti Willian Blake merupakan penghubung antara manusia dan Allah. William Blake melihat bahwa penyair, seniman dan pemusik sebagai malaikat dan orang suci. Mereka adalah manusia sebagaimana manusia-manusia yang lain, namun dia memiliki tugas keilahian. Artinya mereka dapat menjadi ‘lidah’ dan ‘tangan’ Allah dalam dunia untuk mengatakan tentang kebenaran-Nya.

Dengan demikian, perasaan dalam pandangan Gibran tidak berhenti sebagai ungkapan estetis, tetapi lebih dari itu sebagai wahana pembebasan. Tulisan Gibran amat kental dengan tuturan puitik mistik, oleh karenanya ia disebut penyair dan sebagian orang menyebutnya sebagai mistikus. Pandangan dan gagasannya diungkapkan menjadi sebuah tarian, sehingga penderitaan menjadi seperti sedang tersenyum. Jika dicermati dengan sungguh tulisan-tulisan Gibran sebenarnya bukan untuk tujuan estetika semata, tetapi lebih dari itu menyerukan sebuah sebuah pembebasan.

Pembebasan yang ditegaskan Gibran melalui pandangan estetikanya tidak berbeda dengan proyek pembebasan yang diproklamirkan Theodor Adorno, Herbert Marcuse atau Walter Benyamin dengan teori kritisnya. Substansi pembebasan yang ada dalam teori kritis sebenarnya adalah sebuah proyek besar bagaimana mengembalikan manusia pada “keutuhannya” serta mengenyahkan berbagai alienasi. Artinya antara manusia dengan alam, manusia dengan sesamanya, subjek dengan objek, atau aspek eksistensi manusia personal lainya tidak saling teralienasi.

Namun demikian gagasan pembebasan demi mewujudkan pengutuhan yang ditegaskan Gibran bukan semata-mata karena latar belakang politis, seperti apa yang digiatkan Adorno, Marcuse dan Benyamin. Lebih dari itu adalah karena alasan spiritual, seperti yang diperjuangkan pada abad pertengahan. Pada abad pertengahan perasaan, lebih-lebih pengalaman keindahan, dikaitkan dengan kebesaran Allah. Gibran memandang perasaan sebagai ibu yang melahirkan keindahan, dan keindahan merupakan sesuatu Yang Kudus. Sebagai sesuatu Yang Kudus, perasaan menciptakan harmoni dalam setiap pengalaman kehidupannya.

cinta kasih


Dalam agama yang kuanut
kutemukan cinta yang demikian kuat,
bahwa cinta harus diabdikan bagi kehidupan dan kemanusiaan.
Pun dalam agama lain,kutemukan kasih yang demikian indah.
Lalu, mengapa atas nama agama pula,
seseorang tidak mengenal cinta;
melakukan kekerasan, mengintimidasi,
menipu, dan menghakimi moral orang lain?


Cinta itu universal, tidak mengenal warna kulit, status sosial, dan kebangsaan seseorang. Sebagai sebuah konsep yang harus dijabarkan, cinta tidak mengenal batasan yang menyempitkan ruang bagi seseorang dalam memahami dan menjalani kehidupan berdasarkan cinta kasih. Dengan cinta, kehidupan digagas dan dibangun sehingga berproses menjadi kehidupan yang berdasarkan nilai kemanusiaan universal. Manusia dengan keistimewaannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki akal budi, dapat dengan mudah mengatur dan menilai tingkah laku diri sendiri dan komunitasnya untuk tetap berada dalam koridor yang tidak melanggar hak dasar manusia lain. Keluhuran manusia menurut Frans Magnis Suseno (1991), ”berakar dalam kenyataan bahwa ia berakal-budi. Melalui akal budi ia mengatasi keterikatan binatang pada lingkungan dan kebutuhannya sendiri. Akal budi berarti bahwa hati dan wawasan manusia merentangkan diri mengatasi segala keterbatasan ke arah cakrawala yang tak terbatas.”

Dalam banyak catatan sejarah kemanusiaan, sejarah tidak hanya ditoreh secara indah dan manusiawi, melainkan juga secara tidak beradab, di mana harkat dan hak dasar manusia diabaikan dan dilanggar secara tidak langsung maupun langsung. Hegemoni yang dilakukan oleh negara dengan menggunakan institusi birokrasi dan perangkat hukum telah melenakan kesadaran masyarakat, bahwa proses ketidakadilan dan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan yang jauh dari nilai cinta kasih sedang berlangsung secara sistematis. Masyarakat menerima keadaan ini sebagai common sense, yang tidak perlu diperdebatkan lagi.

Indonesia, dalam proses menjadinya, telah menciptakan realitas sosial yang tidak memungkinkan kita untuk menolak bahwa bangunan masyarakat dan negara merupakan hasil gesekan yang sebagian menetaskan dendam dan pembunuhan massal. Konflik politik memasuki ruang-ruang kolektifitas masyarakat yang mengadopsi konflik vertikal menjadi konflik horisontal. Masyarakat dipaksa menerima situasi politik di mana mereka harus memilih berada dalam ruang konflik atau tidak sama sekali. Persoalannya adalah struktur bangunan sosial bersinergis dengan kekuatan politik, bahkan politik menjadi kekuatan yang dominan yang menentukan sikap dan tindakan masyarakat secara personal maupun kolektif.
Lapisan masyarakat Indonesia yang terbentuk berdasarkan nilai dan kesadaran masyarakat terutama elit politiknya, telah menyajikan struktur sosial yang menempatkan masyarakat (rakyat kecil) sebagai kelas bawah yang memiliki ‘kewajiban’ sosial untuk tergantung secara ekonomi-politik kepada elit politik. Hal ini mempengaruhi wajah masyarakat pada umumnya. Masyarakat Indonesia merepsentasikan dirinya sebagai kelompok yang memiliki ikatan politik secara kultur kepada elit politik atau kelas sosial lainnya yang dianggap berada dalam hirarkhi lebih tinggi.

Bagi Umar Kayam, hal di atas dipahami sebagai pentas suatu sistem nilai yang menekankan pada keselarasan hirarkis, rukun, anti konflik, halus (dsbnya) yang merupakan ramuan nilai yang sangat mendukung kelangsungan sistem feodal. Yang bawah mengacu kepada yang atas, yang atas mengacu kepada yang berada di atasnya lagi, sehingga hanya lapisan atas beserta jajarannya yang menikmati semua keistimewaan. Sementara, rakyat kecil, hanya dibebankan pada tanggung jawab untuk mengabdi kepada atasan.

Cinta kasih terhadap manusia lain menjadi sangat penting untuk dilakukan, karena berangkat dari rasa cinta, kehidupan ini dapat dipertahankan. Cinta kasih orang tua terhadap anak dan sebaliknya, dinyatakan dalam keseharian interaksi yang berlangsung dalam rumah dan sekitarnya. Cinta teman terhadap teman tidak hanya terhenti dalam suasana bahagia, tetapi akan lebih teruji ketika dalam susah, di mana seorang teman/sahabat tetap memberikan perhatian dan kepeduliannya. Berbagi secara ekonomi dan sosial adalah hal yang dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan dan kesempatan yang lebih baik. Seorang pejabat atau tokoh masyarakat memiliki tanggung jawab sosial untuk memberi dan berbagi kepada orang miskin. Konsep berbagi dan memberi kepada orang yang membutuhkan adalah implementasi cinta kasih yang paling dasar.

Bagi Erich Fromm cinta itu adalah proses menjadi. Seseorang akan mengalami kemajuan ketika mengimplementasikan relasi cinta terhadap sesamanya. Cinta melahirkan tindakan-tindakan yang memberi dalam bentuk perhatian dan kepedulian terhadap lingkungannya. Perhatian pemerintah terhadap rakyatnya adalah keharusan. Pada pemerintahan yang tidak demokratis, kewajiban dalam memenuhi kesejahteraan, keadilan, dan kebebasan bagi rakyat tidak akan dipenuhi, karena tak ada konsep cinta dalam sebuah pemerintahan yang tidak demokratis.

Sejarah panjang negeri ini dipenuhi catatan kejahatan dan kekerasan yang menistakan kemanusiaan. Kekuasaan Orde Baru telah ajarkan kepada kita bahwa tak ada cinta kasih dalam kekuasaan yang otoriter. Sebaliknya, kerusuhan demi kerusuhan dibiarkan terjadi, penggusuran perkampungan miskin dilakukan tanpa solusi penyelesaian. Peristiwa 27 Juli semakin menegaskan sikap dan watak politik Orde Baru yang mensahkani semua cara untuk mempertahankan status quo.

Cinta kasih bukan sesuatu yang abstrak, ia ada sebagai energi peradaban, menyatu dan mempengaruhi kehidupan manusia. Manifestasi dari cinta kasih adalah pengakuan dan perlindungan terhadap diri sendiri dan orang lain dalam menjalankan kehidupan yang damai, dan sejahtera atas dasar kemanusiaan. Oleh karena itu, hak dasar sebagai manusia yang merdeka harus dipenuhi. Kebebasan berekspresi dalam berkesenian dan berkarya serta dalam mengaktualisasikan ide-ide pribadi merupakan bagian dari hak dasar manusia. Rasa aman, nyaman, dan bebas menjadi instrumen penting dalam mengapresiasikan dan mengembangkan diri. Catatan sejarah, telah sodorkan kenyataan bahwa kebebasan adalah awal dari kemajuan sebuah bangsa. Pencerahan di Eropa telah melahirkan ilmu pengetahuan yang menghasilkan kemajuan dan ragam teknologi. Untuk itu, dalam memajukan sebuah peradaban dibutuhkan cinta kasih yang melepaskan semua batasan warna kulit, agama, kebangsaan, dan ideologi.
@by dewi djakse

dimana rembulanku

saat mentari tenggelam diufuk senja,
saat malam mengeliat menyibak sepi
dingin dan senyap merayap kalbu
dimana engkau rembulan
bayang bayang mega menutup cahayamu
ingin kupejamkan mata
juwita malamku...
bawa daku dalam mimpi, mungkin saja kutemukan diri
dalam bingkai warna warni...