Sabtu, 01 Maret 2008

mengenal Bung Karno lebih dekat


Nama Ir. Soekarno Nama Panggilan Bung Karno Nama Kecil Kusno 4
Lahir Blitar, Jatim, 6 Juni 1901
Meninggal Jakarta, 21 Juni 1970 6 Makam Blitar, Jawa Timur

Gelar (Pahlawan) Proklamator , Jabatan Presiden RI Pertama (1945-1966)
Ayah Raden Soekemi Sosrodihardjo Ibu Ida Ayu Nyoman Rai
Pendidikan HIS di Surabaya HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920 3.
THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB)
di Bandung lulus 25 Mei 1926

Ajaran Marhaenisme, Kegiatan Politik Mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia)
pada 4 Juli 1927 Pengalaman hidup - Dipenjarakan di Sukamiskin,
Bandung pada 29 Desember 1929 - Bergabung memimpin Partindo (1931) -
Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan

Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu. -
Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945 -

Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945



Kondisi bangsa Indonesia yang tak kunjung mengalami perbaikan di segala bidang sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Semuanya tidak lepas dari memudarnya rasa nasionalisme sebagai kekuatan terbesar yang bersumber pada ajaran Bung Karno, the Faunding Father negara ini. Tri Sakti yang menjadi tujuan pokok ajaran Bung Karno yang ingin mewujudkan kemakmuran, justru diabaikan. Oleh karena itu, menanamkan kembali ajaran Bung Karno sebagai sebuah ideologi dan paltform perjuangan merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia. -----------------------------------------------------------

AJARAN Bung Karno hingga kini belum diimplementasikan secara nyata. Bahkan, selama hampir 32 tahun era orde baru, ajaran-ajaran Bung Karno terus saja mengalami proses desoekarnoisasi. Tidak heran kalau kemudian banyak generasi muda yang ada saat ini kehilangan rasa nasionalisme, rasa cinta dan bangga sebagai bangsa dan warga negara Indonesia.

Tujuan utama yang ingin dicapai dari ajaran Bung Karno yakni Tri Sakti malah diabaikan elite politik saat ini. Tri Sakti yang mengamanatkan perwujudan masyarakat Indonesia yang ''Berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang budaya'', nyaris tidak pernah tercapai.

Utang Indonesia yang mencapi 200 milyar dolar AS menunjukkan betapa Indonesia secara ekonomi begitu tergantung kepada pihak luar. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan. Sebab, bangsa Indensia tidak lebih menjadi alat pihak luar. Akhirnya karena ketergantungan yang demikian besar ini, bangsa Indonesia pun malah dicekam rasa ketakutan yang sengaja disebar pihak luar, bahkan sedang diadu domba
Kini, semakin marak pendapat perlunya Indonesia melepaskan ketergantungan pada pihak asing dan menjadi bangsa yang mandiri. Pendapat senada juga dikemukakan oleh MUI ketika diterima presiden Megawati Soekarnoputri awal pekan ini. Baik Presiden maupun MUI rupanya punya pandangan sama bagaimana Indonesia nantinya menjadi bangsa mandiri dan berdikari (berdiri diatas kaki sendiri).

Politik berdikari menjadi populer setelah Bung Karno memberi judul pidatonya 17 Agustus 1965: ‘Tahun Berdikari’. Sekalipun prinsip politik berdikari sering dikemukakannya pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam pidato 17 Agustus 1964 misalnya, Bung Karno mengemukakan prinsip Trisakti Tavip (Tahun Vivere Pericoloso). Di sini ia menjelaskan tiga prinsip berdikari. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga-tiganya prinsip berdikari ini, kata Bung Karno, tidak dapat dipisahkan dan dipreteli satu sama lain. Menurutnya, tidak mungkin akan ada kedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdirikari dalam ekonomi. Demikian pula sebaiknya.

Dengan berdaulat dalam bidang politik, Bung Karno menginginkan agar bangsa Indonesia benar-benar berdaulat dan tidak bisa didikte oleh siapapun. Di samping itu ia sering menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa mengemis, lebih-lebih kepada kaum imperalis.

Berdikari dalam ekonomi berarti kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah ada di tangan kita dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya. Tidak boleh lagi terjadi ‘ayam mati dilumbung’, karena tanah air kita kaya raya. Menjelaskan berkepribadian dalam kebudayaan, Bung Karno menegaskan bahwa budaya kita kaya raya yang harus kita gali. Karenanya, ia menganggap tepat sekali diboikotnya film-film Inggris dan AS ketika itu. Juga tepat pemberantasan ‘musik’ The Beattle, literatur picisan, dansa-dansi gila-gilaan. Apa yang dikuatirkan Bung Karno itu kini menjadi kenyataan dengan makin merajalelanya dekadensi moral para muda-mudi.

Melalui Dekon (Deklarasi Ekonomi), sebagai perencanaan pembangunan ekonomi berdiri, Bung Karno meletakkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial bagi pembangunan. Ia yakin bahwa rakyat akan menjadi sumber daya ekonomi yang optimal bagi pembangunan bila aktivitas dan kreatifitasnya dikembangkan. Ia tanpa tedeng aling-aling mengecam keras cara-cara text-book thinking. Mengambil begitu saja pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi Barat, tanpa memperhatikan kondisi di Indonesia.

Dalam kaitan kerjasama ekonomi dengan negara-negara imperialis, ucapan Bung Karno yang sangat terkenal adalah : “Go to hell with your aid” seringkali ditafsirkan sebagai sikapnya yang usang terhadap bantuan asing, modal asing, bahkan segala yang berbau asing.Sebenarnya, tidaklah tepat kalau Bung Karno anti bantuan dan modal asing. Karena ketika membangun kompleks stadion utama Senayan dari bantuan Uni Soviet. Sedangkan jembatan Semangi dari Amerika. Tapi, ketika AS mau membantu dengan mengharuskan Indonesia mengikuti politiknya, yang merupakan ikatan, Bung Karno tegas-tegas menolak. Dekon sendiri, yang waktu itu merupakan Manipolnya bidang ekonomi menyatakan, bilamana dengan kekuatan fund and forces nasional tidak mencukupi, maka harus dicarikan kredit luar negeri yang tidak bertentangan dengan politik kita.

Dalam kaitan politik berdikari ini, sampai-sampai Bung Karno mengkaitkannya dengan kehadiran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).Mahkota kemerdekaan suatu bangsa adalah bukan keanggotaan PBB, tetapi berdikari. Bahkan, Bung Karno sejak tahun 1960 nyata-nyata menuduh organisasi dunia ini hanya menguntungkan imperialisme dan merugikan negara-negara berkembang. Pada 1 Januari 1965 Indonesia keluar dari PBB.

Tidak hanya keluar dari PBB, Bung Karno bahkan ingin mengadakan Conefo (Conference of the New Emerging Forces) sebagai tandingan PBB. Untuk itu, ia sudah menyiapkan gedungnya, yang sekarang ini menjadi gedung MPR/DPR. Tapi, tekadnya ini tidak berhasil karena ia jatuh. Kita tidak tahu apa jadinya bila Conefo menjadi kenyataan.“Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno, dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’. Suatu ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator besar.

Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya.Ia adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah dra-ma yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbit-kan dengan judul “Diba-wah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno.

Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang bermula dari tahun 1926, dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun.Di tengah kebesarannya, sang orator ulung dan penulis piawai, ini selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup.

Di akhir masa kekuasaannya, ia sering merasa kesepian. Dalam autobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu, bercerita. “Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”

Dalam bagian lain disebutkan, “Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil... Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu... Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.”

Anti Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.
“Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno ketika itu.

Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS).Pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas dikedepankannya.

Sangat jelas dan tegas ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme yang dilakukan negara asing yang kaya itu. Namun, kata dan fakta adalah dua hal yang berbeda, dan tak jarang saling bertolak belakang.Soekarno dan para penggagas nasionalisme lainnya dipaksa bergulat di antara “kata” dan “fakta” politik yang dicoba dirajut namun ternyata tidak mudah, dan tak jarang menemui jalan buntu.Soekarno yang rajin berkata-kata, antara lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum nasionalis, agama dan komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali bertolak belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta. Begitu pula gagasan besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang matang dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, gagasannya mengenai Pancasila.

Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.

Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).

Tatkala memuncak ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang mayoritas Muslim itu.

Memang, pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya untuk negerinya namun juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia kerap dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.

Sebenarnya, seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga dalam konsepsi Pancasila merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin merangkum visi lima agama itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si pembuat kalimat tidak memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara benar?

Dalam hal ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed (1982): “Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bidah”.

Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.

Lalu ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensinya, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah, pendukung konsepsi demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Ia mementingkan “persatuan” demi “revolusi”.

Pada tahun 1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.

NAWAKSARA BUNG KARNO



Di depan Sidang Umum ke-IV MPRS
pada tanggal 22 Juni 1966
Saudara-saudara sekalian,


I. RETROSPEKSI
Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah, maka pagi ini saya berada di muka Sidang Umum MPRS yang ke-lV. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No.I/1960 yang memberikan kepada diri saya, Bung Karno, gelar Pemimpin Besar Revolusi dan kekuasaan penuh untuk melaksanakan Ketetapan-ketetapan tersebut, maka dalam Amanat saya hari ini saya ingin mengulangi lebih dulu apa yang pernah saya kemukakan dalam Amanat saya di muka Sidang Umum ke-ll MPRS pada tanggal 15 Mei 1963, berjudul "Ambeg Parama-Arta" tentang hal ini:
1. Pengertian Pemimpin Besar Revolusi.
Dalam pidato saya "Ambeg Parama-Arta" itu, saya berkata: "MPRS telah memberikan KEKUASAAN PENUH kepada saya untuk melaksanakannya, dan dalam memberi kekuasaan penuh kepada saya itu, MPRS menamakan saya bukan saja Presiden, bukan saja Panglima Tertinggi Angkatan Perang, tetapi mengangkat saya juga menjadi: "PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA".
Saya menerima pengangkatan itu dengan sungguh rasa terharu, karena MPRS sebagai Perwakilan Rakyat yang tertinggi di dalam Republik Indonesia, menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa saya adalah "Pemimpin Besar Revolusi Indonesia", yaitu: "PEMIMPIN BESAR REPUBLIK RAKYAT INDONESIA"!
Dalam pada itu, saya sadar, bahwa hal ini bagi saya membawa konsekuensi yang amat besar! Oleh karena seperti Saudara-saudara juga mengetahui, PEMIMPIN membawa pertanggungan-jawab yang amat berat sekali!!
"Memimpin" adalah lebih berat daripada sekedar "Melaksanakan". "Memimpin" adalah lebih berat daripada sekedar menyuruh melaksanakan"!
Saya sadar, lebih daripada yang sudah-sudah, setelah MPRS mengangkat saya menjadi "Pemimpin Besar Revolusi", bahwa kewajiban saya adalah amat berat sekali, tetapi Insya Allah S.W.T. saya terima pengangkatan sebagai "Pemimpin Besar Revolusi" itu dengan rasa tanggung jawab yang setinggi-tingginya!
Saya Insya Allah, akan beri pimpinan kepada Indonesia, kepada Rakyat Indonesia, kepada Saudara-saudara sekalian, secara maksimal di bidang pertanggungan-jawab dan kemampuan saya. Moga-moga Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Murah, dan Maha Asih, selalu memberikan bantuan kepada saya secukup-cukupnya!
Sebaliknya, kepada MPRS dan kepada Rakyat Indonesia sendiri, hal ini pun membawa konsekuensi! Tempohari saya berkata: "Jikalau benar dan jikalau demikianlah Keputusan MPRS, yang saya diangkat menjadi Pemimpin Revolusi Besar Indonesia, Revolusi Rakyat Indonesia, maka saya mengharap seluruh Rakyat, termasuk juga segenap Anggota MPRS, untuk selalu mengikuti, melaksanakan, menfi'ilkan segala apa yang saya berikan dalam pimpinan itu! Pertanggungan-jawab yang MPRS, sebagai Lembaga Tertinggi Republik Indonesia letakkan di atas pundak saya, adalah suatu pertanggungan-jawab yang berat sekali, tetapi denganridha Allah S.W.T. dan dengan bantuan seluruh Rak yat Indonesia, termasuk di dalanlnya juga Saudara-saudara para Anggota MPRS sendiri, saya percaya, bahwa Insya Allah, apa yang digariskan oleh Pola Pembangunan itu dalam 8 tahun akan terlaksana!
Demikianlah Saudara-saudara sekalian beberapa kutipan daripada Amanat "Ambeg Parama-Arta".
Saudara-saudara sekalian,
Dari Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut, dapatlah Saudara ketahui, bagaimana visi serta interpretasi saya tentang predikat Pemimpin Besar Revolusi yang Saudara-saudara berikan kepada saya.
Saya menginsyafi, bahwa predikat itu adalah sekedar gelar, tetapi saya pun - dan dengan saya semua ketentuan-ketentuan progresif revolusioner di dalam masyarakat kita yang tak pernah absen dalam kancahnya Revolusi kita - saya pun yakin seyakin-yakinnya, bahwa tiap Revolusi mensyarat-mutlakkan adanya Pimpinan Nasional. Lebih-lebih lagi Revolusi Nasional kita yang multi-kompleks sekarang ini, dan yang berhari depan Sosialisme Panca-Sila. Revolusi demikian ta' mungkin tanpa adanya pimpinan. Dan pimpinan itu jelas tercermin dalam tri-kesatuannya Re-So-Pim, yaitu Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasional.
2. Pengertian Mandataris MPRS.
Karena itulah, maka pimpinan yang saya berikan itu adalah pimpinan di segala bidang. Dan sesuai dengan pertanggungan-jawab saya terhadap MPRS, pimpinan itu terutarna menyangkut garis-garis besarnya. Ini pun adalah sesuai dan sejalan dengan kemurnian bunyi aksara dan jiwa Undang-Undang Dasar '45, yang menugaskan kepada MPRS untuk menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Saya tekankan garis-garis besarnya saja dari haluan Negara. Adalah tidak sesuai dengan jiwa dan aksara kemurnian Undang-Undang Dasar '45, apabila MPRS jatuh terpelanting kembali ke dalam alam Liberale democratie, dengan beradu debat dengan bertele-tele tentang garis-garis kecil, di mana masing-masing golongan beradu untuk memenangkan kepentingan-kepentingan golongan dan mengalahkan kepentingan nasional, kepentingan Rakyat banyak, kepentingan Revolusi kita!
Pimpinan itu pun saya dasarkan kepada jiwa Panca-Sila, yang telah kita pancarkan bersama dalam Manipol-Usdek sebagai garis-garis besar haluan Negara. Dan lebih-lebih mendalam lagi, maka saya telah mendasarkan pimpinan itu kepada Sabda Rasulullah S.A.W.: "Kamu sekalian adalah Pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungan-jawabnya tentang kepemimpinan itu di hari kemudian."
Saudara-saudara sekalian,
Itulah jiwa daripada pimpinan saya, seperti yang telah saya nyatakan dalam Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut tadi. Dan Saudarasaudara telah membenarkan amanat itu, terbukti dengan Ketetapan MPRS No.IV/1963, yang menjadikan Resopim dan Ambeg Parama-Arta masing-masing sebagai pedoman pelaksanaan garis-garis besar haluan Negara, dan sebagai landasan kerja dalam melaksanakan Konsepsi Pembangunan seperti terkandung dalam Ketetapan MPRS No.l dan 11 tahun 1960.
3. Pengertian Presiden seumur hidup
Malahan dalam Sidang Umum MPRS ke-ll pada bulan Mei tahun 1963 itu Saudara-saudara sekalian telah menetapkan saya menjadi Presiden se-umur-hidup. Dan pada waktu itu pun saya telah menjawab keputusan Saudara-saudara itu dengan kata-kata: "Alangkah baiknya jikalau nanti MPR, yaitu MPR hasil pemilihan-umum, masih meninjau soal ini kembali." Dan sekarang ini pun saya masih tetap berpendapat demikian!
II. LANDASAN-KERJA MELANJUTKAN PEMBANGUNAN.
Kembali sekarang sebentar kepada Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut tadi itu. Amanat itu kemudian disusul dengan amanat saya "Berdikari" pada pembukaan Sidang Umum MPRS ke-lll pada tanggal 11 April 1965, di mana dengan tegas saya tekankan tiga hal:
1. Trisakti.
Pertama :
bahwa Revolusi kita mengejar suatu Idee Besar, yakni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat; Amanat Penderitaan Rakyat seluruhnya, seluruh rakyat sebulat-bulatnya.
Kedua :
bahwa Revolusi kita berjoang mengemban Amanat Penderitaan Rakyat itu dalam persatuan dan kesatuan yang bulat-menyeluruh dan hendaknya jangan sampai watak Agung Revolusi kita, diselewengkan sehingga mengalami dekadensi yang hanya mementingkan golongann-ya sendiri saja, atau hanya sebagian dari Ampera saja!
Ketiga :
bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap dan tegap berpijak dengan kokoh-kuat atas landasan Trisakti, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan dan berdikari dalam ekonomi; sekali lagi berdikari dalam ekonomi!
Saya sangat gembira sekali, bahwa Amanat-amanat saya itu dulu, baik "Ambeg Parama-Arta", maupun "Berdikari" telaK Saudara-saudara tetapkan sebagai landasan-kerja dan pedoman pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana untukmasa 3 tahun yang akan datang, yaitu sisa jangka-waktu tahapan pertama mulai tahun 1966 s/d 1968 dengan landasan "Berdikari di atas Kaki Sendiri" dalam ekonomi. Ini berarti, bahwa Lembaga Tertinggi dalam Negara kita, Lembaga Tertinggi dari Revolusi kita, Lembaga Negara Tertinggi yang menurut kemurnian jiwa dan aksaranya UUD-Proklamasi kita adalah penjelmaan kedaulatan Rakyat, membenarkan Amanat-amanat saya itu. Dan tidak hanya membenarkan saja, melainkan juga menjadikannya sebagai landasan-kerja serta pedoman bagi kita-semua, ya bagi Presiden/Mandataris MPRS/Perdana Menteri ya, bagi MPRS sendiri, ya bagi DPA, ya bagi DPR, ya bagi Kabinet, ya bagi parpol-parpol dan ormas-ormas, ya bagi ABRI, dan bagi seluruh Rakyat kita dari Sabang sampai Merauke, dalam mengemban bersama Amanat Penderitaan Rakyat.
Memang, di dalam situasi nasional dan internasional dewasa ini, maka Trisakti kita, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari di bidang ekonomi, adalah senjata yang paling ampuh di tangan seluruh rakyat kita, di tangan prajuritprajurit Revolusi kita, untuk menyelesaikan Revolusi Nasional kita yang maha dahsyat sekarang ini.
2. Rencana Ekonomi Perjoangan.
Terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnya, saya minta jangan dilepaskan jiwa "self-reliance" ini, jiwa percaya kepada kekuatan-diri-sendiri, jiwa self-help atau jiwa berdikari. Karenanya, maka dalam melaksanakan Ketetapan-ketetapan MPRS No.V dan Vl tahun 1965 yang lalu, saya telah meminta Bappenas dengan bantuan dan kerja sama dengan Muppenas, untuk menyusun garis-garis lebih lanjut daripada Pola Ekonomi Perjoar gan seperti yang telah saya canangkan dalam Amanat Berdikari tahun yang lalu.
Garis-garis Ekonomi Perjoangan tersebut telah selesai, dan saya lampirkan bersama ini Ikhtisar Tahunan tentang pelaksanaan Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960. Di dalamnya Saudara-saudara akan memperoleh gambaran tentang Strategi Umum Pembangunan 2 tahun 1966-1968, yaitu Pra-syarat Pembangunan, dan pola Pembiayaan tahun 1966 s/d 1968 melalui Rencana Anggaran 3 tahun.
3. Pengertian Berdikari.
Khusus mengenai Prinsip Berdikari ingin saya tekankan apa yang" telah saya nyatakan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965, yaitu pidato Takari, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerjasama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka.
Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling me nguntungkan.
Dan di dalam Rencana Ekonomi Perjoangan yang saya sampaikan bersama ini, maka Saudara-saudara dapat membaca bahwa: "Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan Pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama-derajat dan saling menguntungkan."
Dalam rangka pengertian politik Berdikari demikian inilah, kita harus menanggulangi kesulitan-kesulitan di bidang Ekubang kita dewasa ini, baik yang hubungan dengan inflasi maupun yang hubungan dengan pembayaran hutang-hutang luar negeri kita.
III. HUBUNGAN POLITIK DAN EKONOMI
Masalah Ekubang tidak dapat dilepaskan dari masalah politik, malahan harus didasarkan atas Manifesto Politik kita.
Dekon kita pun adalah Manipohdi bidang ekonomi, atau dengan lain perkataan "political-economy"-nya pembangunan kita. Dekon merupakan strategi-umum, dan strategi-umum di bidang pembangunan 3 tahun di depan kita, yaitu tahun 1966--1968, didasarkan atas pemeliharaan hubungan yang tepat antara keperluan untuk melaksanakan tugas politik dan tugas ekonomi. Demikianlah tugas politik-keamanan kita, politik-pertahanan kita, politik dalam-negeri kita, politik luar-negeri kita dan sebagainya.
IV. DETAIL KE-DPR
Detail dari tugas-tugas ini kiranya tidak perlu diperbincangkana dalam Sidang Umum MPRS, karena tugas MPRS ialah menyangkut garisgaris besarnya saja. Detailnya seyogyanya ditentukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR, dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945.

V. TETAP DEMOKRASI TERPIMPIN
Sekalipun demikian perlu saya peringatkan di sini, bahwa UndangUndang Dasar 1945 memungkinkan Mandataris MPRS bertindak lekas dan tepat dalam keadaan darurat demi keselamatan Negara, Rakyat dan Revolusi kita.
Dan sejak Dekrit 5 Juli 1959 dulu itu, Revolusi kita terus meningkat dan bergerak cepat, yang mau-tidak-mau mengharuskan semua Lembaga-lembaga Demokrasi kita untuk bergerak cepat pula tanpa menyelewengkan Demokrasi Terpimpin kita ke arah Demokrasi Liberal.

VI. MERINTIS JALAN KE ARAH PEMURNIAN PELAKSANAAN UUD 1945
Dalam rangka merintis jalan ke arah kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itulah, saya dengan surat saya tertanggal 4 Mei 1966 kepada Pimpinan DPRGR memajukan:
1. RUU Penyusunan MPR, DPR dan DPRD.
2. RUU Pemilihan Umum.
3. Penetapan Presiden No.3 tahun 1959 jo. Penetapan Presiden No.3 tahun 1966 untuk diubah menjadi Undang-Undang supaya DPA dapat ditetapkan menurut pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

0. WEWENANG MPR DAN MPRS
Tidak lain harapan saya ialah hendaknya MPRS dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menyadari apa tugas dan fungsinya, juga dalam hubungan-persamaan dan perbedaannya dengan MPR hasil pemilihan-umum nanti.
Wewenang MPR selaku pelaksanaan kedaulatan Rakyat adalah menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara (pasal 3 UUD), serta memilih Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 UUD ayat 2).
Undang-Undang Dasar serta garis-garis besar haluan Negara telah kita tentukan bersama, yaitu Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945 dan Manipol/Usdek.

0. KEDUDUKAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Undang-Undang Dasar 1945 itu menyebut pemilihan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, masa jabatannya serta isi-sumpahnya dalam satu nafas, yang tegas bertujuan agar terjamin kesatuan-pandangan, kesatuan-pendapat, kesatuan-pikiran dan kesatuan-tindak antara Presiden dan Wakil Presiden, yang membantu Presiden (pasal 4 ayat 2 UUD).
Dalam pada itu, Presiden memegang dan menjalankan tugas, wewenang dan kekuasaan Negara serta Pemerintahan. (pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, ayat 2).
Jiwa kesatuan antara kedua pejabat Negara ini, serta pembagian tugas dan wewenang seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hendaknya kita sadari sepenuhnya.

0. PENUTUP
Demikian pula hendaknya kita semua, di luar dan di dalam MPRS menyadari sepenuhnya perbedaan dan persamaannya antara MPRS sekarang, dengan MPR-hasil-pemilihan-umum yang akan datang, agar supaya benar-benar kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita rintis bersama, sambil membuka lembaran baru dalam sejarah kelanjutan Revolusi Panca-Sila kita.
Demikianlah Saudara-saudara, teks laporan progress saya kepadaMPRS. lzinkanlah saya sekarang mengucapkan beberapa patah kata pribadi kepada Saudara-saudara, terutama sekali mengenai pribadi saya.
Lebih dahulu tentang hal laporan progress ini.
Laporan progress itu saya simpulkan dalam sembilan pasal, sembilan golongan, sembilan punt. Maka oleh karena itu saya ingin memberi judul kepada amanat saya tadi itu. Sebagaimana biasa saya memberi judul kepada pidato-pidato saya, ada yang bernama Resopim, ada yang bernama Gesuri dan lain-lain sebagainya. Amanat saya ini, saya beri judul apa? Sembilan perkara, pokok, pokok, pokok, pokok, saya tuliskan di dalam Amanat ini. Karena itu saya ingin memberi nama kepada Amanat ini, kepada pidato ini "Pidato Sembilan Pokok". Sembilan, ya sembilan apa? Kita itu biasa memakai bahasa Sanskrit kalau memberi nama kepada amanat-amanat, bahkan kita sering memakai perkataan Dwi, Tri, Tri Sakti, dua-duanya perkataan Sanskrit. Catur Pra Setia, catur-empat setia, kesetiaan, Panca Azimat, Panca adalah lima. Ini sembilan pokok; ini saya namakan apa?
Sembilan di dalam bahasa Sanskrit adalah "Nawa". Eka, Dwi, Tri, Catur, Panca, enam-yam, tujuh-sapta, delapan-hasta, sembilan-nawa, sepuluh-dasa. Jadi saya mau beri nama dengan perkataan "Nawa". "Nawa" apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama "NAWA AKSARA", dus "NAWA iAKSARA" atau kalau mau disingkatkan "NAWAKSARA". Tadinya ada orang yang mengusulkan diberi nama "Sembilan Ucapan Presiden". "NAWA SABDA". Nanti kalau saya kasih nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata: "Uh, uh, Presiden bersabda". Sabda itu seperti raja bersabda. Tidak, saya tidak mau memakai perkataan "sabda" itu, saya mau memakai perkataan "Aksara"; bukan dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara Belanda dan sebagainya. NAWA AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya berikan kepada pidato ini. Saya minta wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan oleh Presiden NAWAKSARA . ,
Kemudian saya mau menyampaikan beberapa patah kata mengenai diri saya sendiri. Saudara-saudara semua mengetahui, bahwa tatkala saya masih muda, masih amat muda sekali, bahwa saya miskin dan oleh karena saya miskin, maka demikianlah saya sering ucapkan: "Saya tinggalkan this material world. Dunia jasmani sekarang ini laksana saya tinggalkan, karena dunia jasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada saya, oleh karena saya miskin." Maka saya meninggalkan dunia jasmani ini dan saya masuk katagori dalam pidato dan keterangan-keterangan yang sering masuk ke dalam world of the mind. Saya meninggalkan dunia yang material ini, saya masuk di dalam world of the mind. Dunianya alam cipta, dunia khayal, dunia pikiran. Dan telah sering saya katakan, bahwa di dalam wolrd of the mind itu, di situ saya berjumpa dengan orang-orang besar dari segala bangsa dan segala negara. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan nabi-nabi besar; di dalam world of the mind itusaya berjumpa dengan ahli falsafah, ahli falsafah besar. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang besar, dan di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pejuang-pejuang kemerdekaan yang berkaliber besar.
Saya berjumpa denganorang-orang besar ini, tegasnya, jelasnya dari membaca buku-buku. Salah satu pemimpin besar daripada sesuatu bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan, ia mengucapkan kalimat sebagai berikut: "The cause of freedom is a deathless cause. The cause of freedom is a deathless cause. Perjuangan untuk kemerdekaan adalah satu perjuangan yang tidak mengenal mati. The cause of freedom is a deathless cause.
Sesudah saya baca kalimat itu dan renungkan kalimat itu, bukan saja saya tertarik kepada cause of freedom daripada bangsa saya sendiri dan bukan saja saya tertarik pada cause of freedom daripada seluruh umat manusia di dunia ini, tetapi saya, karena tertarik kepada cause of freedom ini saya menyumbangkan diriku kepada deathless cause ini, deathless cause of my own people, deathless cause of all people on this. Dan lantas saya mendapat keyakinan, bukan saja the cause of freedom is a deathless cause, tetapi juga the service of freedom is a deathless service. Pengabdian kepada perjuangan kemerdekaan, pengabdian kepada kemerdekaan itupun tidak mengenal maut, tidak mengenal habis. Pengabdian yang sungguh-sungguh pengabdian, bukan service yang hanya lip-service, tetapi service yang betul-betul masuk di dalam jiwa, service yang betul-betul pengabdian, service yang demikian itu adalah satu deathless service.
Dan saya tertarik oeh saya punya pendapat sendiri, pendapat pemimpin besar daripada bangsa yang saya sitir itu tadi, yang berkata "the cause of freedom is deathless cause". Saya berkata "not only the cause of freedom is deathless cause, but also the service of freedom is a deatheless service".
Dan saya, Saudara-saudara, telah memberikan, menyumbangkan atau menawarkan diri saya sendiri, dengan segala apa yang ada pada saya ini, kepada service of freedom, dan saya sadar sampai sekarang: the service of freedom is deathless service, yang tidak mengenal akhir, yang tidak mengenal mati. Itu adalah tulisan isi hati. Badan manusia bisa hancur, badan manusia bisa dimasukkan di dalam kerangkeng, badan manusia bisa dimasukkan di dalam penjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan manusia bisa dibuang ke tanah pengasingan yang jauh dari tempat kelahirannya, tetapi ia punya service of freedom tidak bisa ditembak mati, tidak bisa dikerangkeng, tidak bisa dibuang di tempat pengasingan, tidak bisa ditembak mati.
Dan saya beritahu kepada Saudara-saudara, menurut perasaanku sendiri, saya, Saudara-saudara, telah lebih daripada tiga puluh lima tahun, hampir empat tahun dedicate myself to this service of freedom. Yang saya menghendaki supaya seluruh, seluruh, seluruh rakyat Indonesia masing-masing juga dedicate jiwa raganya kepada service of freedom ini, oleh karena memang service of freedom ini is a deathless service. Tetapi akhirnya segala sesuatu adalah di tangannya Tuhan. Apakah Tuhan memberi saya dedicate myself, my all to this service of freedom, itu adalah Tuhan punya urusan.
Karena itu maka saya terus, terus, terus selalu memohon kepada Allah S.W.T., agar saya diberi kesempatan untuk ikut menjalankan aku punya service of freedom ini. Tuhan yang menentukan. De mens wikt, God beslist; manusia bisa berkehendak ,macam-macam Tuhan yang menentukan. Demikianpun saya selalu bersandarkan kepada keputusan Tuhan itu. Cuma saya juga di hadapan Tuhan berkata: Ya Allah, ya Rabbi, berilah saya kesempatan, kekuatan, taufik, hidayat untuk dedicate my self to this great cause of freedom and to this great service.
Inilah Saudara-saudara yang saya hendak katakan kepadamu;dalam saya pada hari seka~ang ini memberi laporan kepadamu. Moga-moga Tuhan selalu memimpin saya, moga-moga Tuhan selalu memimpin Saudara-saudara sekalian. Sekianlah


Jumat, 29 Februari 2008

Seruling Perdamaian Jalaludin RUMI

sebagai tokoh humanis terbesar, Maulana Rumi mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan kemanusiaan. Pada setiap karyanya, terutama Matsnawi dan Fihi Ma Fihi terkandung pesan yang begitu berharga bagi kehidupan manusia di dunia, yaitu terciptanya “perdamaian abadi”. Buku ini, khususnya Matsnawi bagi masyarakat Iran dianggap sebagai “kitab suci kedua” setelah al-Quran, karena mengandung petunjuk dan ajaran mulia bagi umat manusia yang dapat mengantarkan mereka ke tujuan paripurna. Kini kita hidup 800 tahun setelah Maulana Rumi, namun pesan damai yang sempat ditorehkannya dalam lembaran-lembaran kitab dan petuah-petuah nasehat rasanya masih relevan dengan kehidupan manusia zaman ini. Zaman di mana pertikaian sering terjadi, kebencian dan kemurkaan dipeliha-ra, kekerasan dan penindasan ditanamkan, serta kejujuran dan kebenaran selalu diabaikan.Pada zaman seperti itu, damai adalah kata yang teramat mahal bagi setiap orang, bangsa, dan kelompok. Damai menjadi kata yang terus diperjuangkan dan dipertaruhkan. Setiap usaha untuk menggapainya tak jarang menelan korban harta dan jiwa yang begitu banyak. Hingga kini, betapa jurang pemisah di antara bangsa-bangsa dunia semakin menganga lebar, ditambah kemudian dengan sikap intoleransi, dan pupusnya solidaritas sosial semakin membangkitkan sikap egoisme dan individualisme. Konflik yang saat ini masih terjadi di Irak dan Afghanistan, serta ratusan konflik yang pernah melanda Indonesia semakin membenarkan hal itu semua.
Untuk menyelesaikan konflik yang kian menyambang kehidupan manusia dari masa ke masa, Maulana Rumi mencari akar penyebabnya, sekaligus menawarkan sebuah solusi yang dapat menghantarkan mereka kepada kedamaian dan perdamaian abadi.

”Seruling Bambu” bagi Rumi adalah simbol perdamaian. Menurutnya, seruling merupakan analogi yang tepat bagi bangsa dunia yang mendambakan perdamaian. Karena, darinya lahir berbagai lagu yang coba diekspresikan melalui kekuatan angin yang keluar dari mulut seseorang saat meniup alat musik itu. Bila setiap bangsa, dan juga komunitas dunia meniup seruling itu dengan penuh kesadaran dan dalam kesatuan yang padu, maka akan mengeluarkan suara yang merdu dan menggugah setiap pendengarnya hingga menyejukan hati dan mendamaikan jiwa. Dengan cara memadukan seruling yang satu dengan seruling yang lainnya akan tercipta perdamaian dan kedamaian abadi. Kesadaran inilah yang harus diciptakan masyarakat dunia.

Humanisme-toleran
Kehadiran Rumi di tengah kepenatan hidup dan kebekuan berpikir seperti sekarang ini sungguh sangat diperlukan dan dinanti. Ia tidak saja mampu melantunkan bait-bait syair yang merdu di tengah kebisingan dunia, tapi juga memiliki ajaran-ajaran mulia yang dibutuhkan manusia modern saat ini.Sebagai guru sejagat, Rumi laksana lautan tak bertepi dan bumi tak terjejaki. Ia selalu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk bersikap toleran dan solider terhadap sesama, peduli akan penderitaan nasib orang, menerima kelompok lain untuk hidup berdampingan sambil bergandengan tangan tanpa pertentangan dan perselisihan, serta memiliki tanggung jawab untuk mengabdikan hidupnya demi kemanusiaan.Sikap egois, ingin menang sendiri, dan merasa dirinya paling suci dan benar seperti yang terjadi dan bahkan mewarnai kehidupan dunia ini menjadi kritikan dan perhatian Rumi. Baginya, sikap-sikap seperti itu tidak akan dapat menyelesaikan masalah dalam hubungannya dengan orang di luar diri kita dan kelompok yang berbeda pandangan dengan kita. Hal demikian justru hanya akan memperuncing masalah, mempertajam perselisihan, menyulut api peperangan, menanamkan kebencian, dan sesekali akan melahirkan tragedi yang berdarah-darah. selama hidupnya, Rumi bergaul dan memiliki banyak murid yang berasal dari berbagai kalangan, agama, suku, budaya, dan tradisi. Mereka semua diperlakukan Rumi dengan penuh cinta dan kasih sayang, tanpa pandang bulu. Baginya sikap seperti ini akan melahirkan kedamaian dalam diri seseorang dan kedamaian untuk alam semesta

Rabu, 27 Februari 2008

MULTIKULTURALISME

pandangan tokoh muslim Zakiyuddin baidhawy

Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan
adalah bahwa realitas multikultural secara
langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri.
dalam konteks ini,
spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali
untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja
melalui pembacaan ulang
dan memperdengarkan kembali secara produktif
untuk menghadirkan kedalaman makna
yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama.


Rentang historis peradaban dunia membawa Islam terus berupaya mencari jalan untuk mengembangkan teknologi yang efektif bagi kehidupan majemuk. Berbagai tradisi filsafat, spiritualitas dan fiqhiyah telah memberi kontribusi penting untuk kemajuan dan pencarian bersama ini. Namun, evolusi kebudayaan sering menjelaskan bahwa gerakan yang diniatkan tidak selalu sesuai dengan cita-cita sosial umat Islam.

Pada faktanya relasi antar agama, antar etnik dan antar budaya – bahkan antar sesama Muslim itu sendiri -- terus mengalami kehancuran ketika perbedaan perspektif, pandangan dan ideologi saling konfrontasi dan berebut kepentingan. Kunci utama agar tetap bertahan tergantung pada cara kita belajar mengelola keragaman dan konflik. Nyata bahwa prioritas untuk menghadapi pluralitas dan multikulturalitas bangsa yang semakin canggih dan percepatannya melalui globalisasi, hanya memperoleh solusi praktis secara kreatif ketika berbagai pandangan dunia Islam dan non-Islam dapat saling berjumpa.

Islam perlu memanfaatkan momentum kebangkitan agama-agama di dunia yang terjadi sejak dekade 70-an, yang berbeda bentuk dan substansinya dari perkembangan pada pertengahan pertama abad 20. Dari segi bentuknya, agama-agama semakin menunjukkan kecenderungan semakin luwes dan umum (general) sebagai lawan dari agama-agama konfesional yang partikular. Dari segi substansinya, agama-agama mulai mengupayakan realisasi komunitas global universal dengan visi dan nasib bersama.

Dalam konteks ini, Islam seyogyanya muncul sebagai agama universal, agama general yang visible dalam penyebaran wacana dan gerakan perdamaian dan peduli terhadap lingkungan hidup. Kesempatan ini pula yang tidak boleh diabaikan Islam untuk menjadi pemain utama arus perubahan dunia menuju kedamaian sejati. Kita berharap, abad 21 akan menyaksikan sebuah kebangkitan religius-spiritual global baik dalam wilayah publik dan privat, meskipun peran marginal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat dilihat dalam kehidupan ini. Di sinilah pentingnya setiap agama mengembangkan dan menguji kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini, tak terkecuali Islam sebagai agama mayoritas.

Belajar dari kegagalan politik penguasa dalam mengelola masyarakat multikultural, paradigma etis Islam multikultural sudah saatnya menjadi sumber kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam multikultural adalah sebentuk perspektif teologis tentang penghargaan terhadap keragaman dan "sang lian" (the other). Suatu assessment teologis mengenai agama lain, kultur lain, dan etnik lain, dan penempatannya secara layak dalam wilayah tatanan publik etis. Ia merupakan teologi qur'ani yang membolehkan "sang lian" menjadi "yang lain" sebagai realitas yang secara etis diperkenankan atau bahkan keniscayaan. Inilah perspektif teologis abad 21 yang berkomunikasi melampaui bahasa dan tradisi partikular. Meminjam istilah Abdulaziz Sachedina, ini merupakan "sensibilitas ekumene" dari teologi multikulturalis yang menggambarkan perhatian dan kepedulian terhadap penduduk dunia, mempengaruhi kehidupan mereka melampaui batas-batas komunitas-komunitas keagamaan dan kultural. Tujuan luhur teologi multikulturalis (summum bonum) adalah pembebasan dari belenggu kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kezaliman, dan ketidakadilan sebagai akibat dari relasi kolonial atas-bawah, dominasi-subordinasi, superior-inferior, menindas-tertindas baik dalam hubungan antaragama, etnik dan budaya.

Sulam Ragam Rajut Harmoni

Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karenanya harus dikecam sebagai kemusyrikan dan sekaligus kejahatan atas kemanusiaan. Pesan disinyalir al-Qur'an 3:64: "Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Mantapkanlah manifesto kesetaraan dan keadilan (melalui dialog) antara kami dan kamu".

Dialog bukan semata percakapan bahkan pertemuan dua pikiran dan hati mengenai persoalan bersama, dengan komitmen untuk saling belajar dapat berubah dan berkembang. "Berubah" artinya dialog terbuka, jujur dan simpatik dapat membawa pada kesepahaman melalui mana prasangka, stereotip, dan celaan dapat dikurangi dan dieliminir. "Tumbuh" karena dialog mengantarkan pada informasi, klarifikasi dari sumber primer dan dapat mendiskusikannya secara terbuka dan tulus. Dialog merupakan pangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju kematangan cara beragama yang menghargai "kelainan" (the otherness).

Dengan demikian, nilai sawa' adalah menyangkut cara manusia melakukan perjumpaan dengan dan memahami diri sendiri dan dunia lain pada tingkat terdalam, membuka kemungkinan-kemungkinan untuk menggali dan menggapai selaksa makna fundamental kehidupan secara individual dan kolektif dengan berbagai dimensinya.

Secara eksperimental, sawa' tampil ke permukaan dan menjangkau perjumpaan antar dunia multikultural yang begitu luas. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama-agama, seolah kita mendapatkan pengalaman antarkultural (intercultural experiences). Seperti kita berjuang dengan pola-pola sejarah pertentangan berbagai pandangan dunia. Seperti kita melibatkan secara kreatif kekuatan-kekuatan besar dalam kehidupan sipil di mana pertempuran ideologi dan kehidupan terjadi. Pengalaman multikultural ini membuat kita mampu bangkit dan sadar dengan perspektif baru yang lebih memadai.

Pluralitas dan multikulturalitas untuk dialog, bukan pertentangan, adalah teknologi masa depan yang muncul dari pandangan rasional otentik berbasis wahyu progresif yang merupakan dasar bagi semua pengalaman keagamaan dan kultural. Dialog membawa pada pandangan dunia keagamaan dan kultural yang tidak parsial atau ideologi sipil yang tidak diskriminatif.

Sekali lagi, dialog adalah jiwa universal yang melampaui pertempuran agama-agama, konfrontasi pandangan ilmiah dengan kehidupan agama dan spiritual, alienasi dunia etnik yang destruktif, fragmentasi dan disintegrasi kehidupan batin individu, frustrasi kebudayaan-kebudayaan sekuler. Ini dalam upaya membuka ruang dan waktu publik di mana pluralitas pandangan dunia, perspektif, dan ideologi dapat maju bersama-sama dengan spirit perdamaian, rekonsiliasi, pengampunan, nirkekerasan dan berkeadaban.

Penemuan sangat nyata atas pengalaman multikultural yang demikian intensif merupakan suatu keharusan dan kebutuhan yang tak terelakkan. Penemuan ini adalah dasar dan sumber utama diluar perbedaan dan keragaman (diversity) pandangan dunia dan perspektif. Dengan memperoleh akses pada sumber bagi seluruh kehidupan kultural dan mengalaminya, menjadi sangat jelas bahwa umat manusia sedang berada di tengah-tengah transformasi diri yang mendalam dan kematangan kemanusiaan.

Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural secara langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Bangsa besar yang kedodoran ini telah terkunci dalam pola pikir egosentris. Pola pikir monolog yang membuat kita menderita dan mengalami kegagalan terbesar dalam mengelola pluralitas dan multikulturalitas. Kita merasakan betapa pedihnya kekerasan dan kehancuran relasi antara sesama atas nama etnik, budaya, politik, ideologi dan bahkan agama.

Dalam konteks ini, spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja, melalui pembacaan ulang dan memperdengarkan kembali secara produktif untuk menghadirkan kedalaman makna yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama. Spirit sawa' perlu ditumbuhkan kembali sebagai wahana transformasi diri dan transformasi sosial serta membangkitkan pola pikir dan pola hidup dialogis agar lebih dapat meraih kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan personal dan komunal. Seluruh kemajuan agama, spiritual, rasional, moral, dan politik dalam evolusi kebudayaan harus dikonstruk dalam kematangan dialog dan perjumpaan multikultural secara kreatIf


Perang Peradaban..

 by Samuel Huttington
Sepanjang sejarah manusia, banyak sekali terjadi peperangan dan yang terbesar adalah ialah Perang Dunia Pertama dan Kedua. Beberapa waktu yang lalu, para politikus dan cendikiawan Amerika telah memunculkan istilah Perang Dunia Ketiga dan Keempat. Istilah ini untuk pertama kali, digunakan oleh Profesor Elliot Cohen, dosen Universitas John Harbinger, Amerika, selepas peristiwa 11 September 2001. Dia menamakan perang dingin antara negara-negara Barat yang dipimpin oleh Amerika dengan Uni Soviet sebagai Perang Dunia Ketiga. Perang ini berakhir dengan kemenangan Barat dan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Menurut kepercayaan Cohen, Perang Dunia Keempat sedang terjadi antara Amerika dan dunia Islam, serta akan terus berlanjut. Suratkabar Al-Zaman terbitan London yang menukil pernyataan mantan Panglima Tentara AS, Jenderal Tommy Franks, menulis bahwa operasi militer ke Irak merupakan peperangan melawan terorisme dan Perang Dunia Keempat.

Perang ini dimulai pada 11 September dan berlanjut dengan invasi ke Afghanistan dan Irak. Proses ini akan berakhir di poros kejahatan. Oleh karena itu, menurut pandangan kelompok ambisius perang Gedung Putih, perang dengan dunia Islam merupakan awal dimulainya Perang Dunia Keempat dan akan terus berlanjut.

Untuk memahami pandangan kelompok neo konservatif Amerika mengenai perang dengan lebih detail, sebaiknya kita juga meninjau pandangan mereka mengenai perang. Doktor Hassan Abbasi, dosen Universitas dan ketua salah satu pusat penelitian Iran, mengenai masalah ini menyatakan, “Ideologi yang membangun peradaban Barat adalah liberalisme, nasionalisme, dan sosialisme. Perang-perang dunia yang telah terjadi merupakan perang antara ketiga ideologi Barat tersebut.”

James Woolsey, salah seorang pemimpin sayap neo konservatif dan bekas ketua CIA mengenai masalah ini mengatakan, “Perang Dunia Pertama, Kedua, dan Ketiga terjadi di dalam era modernisasi dan peradaban Barat.” Menurut penasehat pusat penelitian strategis Washington, Z. Brezensky, 175 juta orang di dunia telah terbunuh akibat ketiga perang yang menakutkan itu, yang merupakan hasil pertentangan dunia Barat dan keinginan mereka untuk menjadi pihak yang terkuat.

Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, oleh sebagian analis politik disebut sebagai kemenangan paham liberalisme terhadap sosialisme. Francis Fukuyama, seorang peneliti di sebuah lembaga penelitian yang terkait dengan Angkatan Udara Amerika, menyebut bahwa kemenangan liberalisme ini merupakan berakhirnya sejarah. Dia percaya bahwa liberalisme adalah fokus ideologi manusia dan ujung dari pemikiran manusia. Fukuyama dalam buku “Berakhirnya Sejarah” menulis, “Manusia hari ini telah sampai ke satu tahap di mana mereka tidak lagi dapat membedakan antara dunia hakiki dengan dunia hari ini, karena infrastruktur yang ada saat ini tidak menunjukkan indikasi akan berubah ke arah yang lebih baik.”

Di pihak lain, mengingat besarnya peran Amerika dalam era Perang Dingin, para politikus dan penulis Amerika menyebutkan bahwa negara inilah yang menguasai dunia selepas keruntuhan Uni Soviet. James Woolsey dengan menunjukkan bahwa dewasa ini, dari 192 negara dunia, 120 di antaranya menggunakan sistem demokratik, dia mengklaim bahwa Amerika memainkan peran yang mencolok dalam membangun sistem ini. William Kristol, salah seorang pemimpin sayap neo-konservatif Amerika menulis, “Amerika tidak saja harus menjadi polisi dunia, bahkan Amerika harus menjadi pembimbing warga dunia.” Melihat pandangan-pandangan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa para politikus dan pemikir Barat menginginkan agar konsep demokrasi liberal Barat dan kepemimpinan Amerika menguasai seluruh dunia.

Namun demikian, para teoritikus dan politisi Barat akan segera berhadapan dengan realitas yang lain. Bertentangan dengan apa yang mereka harapkan, sebuah paham lain tengah berkembang di dunia dan mempunyai pengikut yang banyak. Paham tersebut adalah ajaran Islam yang pada dekade terakhir ini mulai hidup kembali dan mendapatkan perhatian dari seluruh dunia, termasuk Amerika dan Eropah. Secara tertulis, paham liberalisme menjamin kebebasan penyampaian pendapat dan memiliki kepercayaan. Namun, dalam pelaksanaannya, kebebasan itu hanya berlaku bila tidak merugikan pemilik kekayaan dan kekuasaan. Kini, sejalan dengan berkembangnya nilai-nilai Islami, seperti tuntutan atas kebebasan dan kebencian terhadap kezaliman, orang-orang yang berpaham liberalisme itu melupakan konsep kebebasan mereka.

Karena akan merugikan kepentingan kaum berkuasa di Barat, agama Islam yang anti kezaliman ini malah ditekan dan ditentang. Dalam rangka inilah, Samuel Huttington, teoritikus Amerika menyajikan teori ‘perang antar peradaban’. Dalam teorinya itu, Hutington mempertentangkan peradaban Barat dengan peradaban-peradaban lain, khususnya Islam, dan akhirnya terjadi peperangan di antara peradaban itu. Peperangan inilah yang disebut oleh para teoritikus Amerika sebagai Perang Dunia Keempat.

Sebagian cendikiawan menyebut faktor lain yang menyebabkan kebencian Barat terhadap Islam. Mereka percaya bahwa pemerintah Barat, khususnya Amerika, senantiasa memerlukan musuh asing demi melaksanakan ambisinya untuk menguasai negara lain dan untuk menipu rakyatnya. Professor Noam Chomsky, pakar bahasa dan politik Amerika dalam suratkabar Al-Hayat menulis, “Hampir setiap 60 tahun, untuk melindungi dirinya, Barat selalu melukiskan gambar musuh khayalannya. Di sepanjang era Perang Dingin, Uni Soviet-lah yang harus memikul tanggungjawab sebagai musuh khayalan ini. Strategi menciptakan musuh dan membesar-besarkan adanya bahaya dapat menyibukkan rakyat. Rakyat akan diseret untuk percaya penuh kepada sistem yang sedang berkuasa dan lupa pada kondisi buruk di dalam negeri.”

Pemerintah dan penulis Amerika menjustifikasi kebencian Washington terhadap dunia Islam dengan berbagai cara. James Woolsey menyebut perang dengan dunia Islam adalah perlawanan antara kebebasan dan despotisme. Dengan mengubah realitas, dia mengklaim bahwa bukan Amerika yang memulai Perang Dunia Keempat, melainkan rezim Irak dan negara-negara Islam. Padahal, di pernyataan Woolsey lainnya, menunjukkan dengan jelas bahwa kelompok konfrontatif Gedung Putihlah yang menjadi penyebab utama invasi AS ke negara-negara Islam. Pada bulan September 2002, ketika menyampaikan teori tentang Perang Dunia Keempat, Woolsey mengatakan, “Amerika akan berhadapan dengan 22 negara dalam Perang Dunia Keempat ini. Kami telah menyerang Afghanistan dan Irak. Kini masih tersisa 20 negara lainnya. Di antara ke-20 negara itu, hanya Korea Utara yang bukan negara Islam. Negara ketiga yang akan kami serang ialah Suriah, negara keempat adalah Iran, dan negara kelima adalah Saudi Arabia.”

Di pihak lain, sejak beberapa tahun lalu, Barat telah melakukan serangan budaya ke negara-negara Islam dengan tujuan untuk menghapuskan identitas umat Islam. Dalam rangka ini, mereka menggunakan radio, televisi, satelit, internet, dan berbagai sarana komunikasi yang lain. Barat mengetahui, dengan menyeret umat Islam kepada kerusakan moral, mereka akan menjauhi nilai-nilai Islam seperti keadilan, anti kezaliman, spiritualitas, dan persahabatan. Sebaliknya, jika umat Islam menjalankan nilai-nilai dan ajaran Islam dengan konsisten, paham liberalisme, imperialisme, dan kapitalisme akan tumbang.

Namun demikian, banyak cendikiawan, termasuk dari Barat, percaya bahwa Perang Dunia Keempat yang ingin dilancarkan oleh kelompok neo konservatif AS tidak akan bisa menyelamatkan liberal-demokrasi dan sekularisme Barat, atau menghancurkan dan melemahkan Islam. Brezensky, analis strategis terkenal Amerika dan penasihat keamanan nasional pemerintahan James Carter menulis, “Saya tidak berpikir bahwa Barat dalam bentuknya sekarang merupakan standar yang terbaik bagi hak asasi manusia. Sekularisme Barat pada dasarnya merupakan sebuah gelombang kebudayaan yang memiliki paham bahwa sebuah kehidupan yang baik itu harus dipenuhi dengan kegairahan, kesenangan, dan konsumerisme. Namun, fitrah manusia jauh lebih tinggi dari kesenangan materi itu. Sekularisme sedemikian meluas di Barat sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan budaya. Oleh karena itu, saya berpikir bahwa posisi adidaya Amerika secara gradual akan musnah.”

Apapun juga, dengan dimulainya Perang Dunia Keempat oleh kelompok konfrontatif Gedung Putih dan kemenangan mereka dalam perang terhadap dua negara, yaitu Afghanistan dan Irak, sama sekali tidak bermakna bahwa mereka telah menguasai dunia Islam. Malah sebaliknya, langkah yang tidak berperi kemanusiaan ini, yang lahir dari jiwa tamak yang menguasai liberalisme Barat, akan menyeret Barat ke arah kehancurannya sendiri.

EKSISTENSI CINTA DAN RASA

Perasaan dalam pandangan Gibran adalah letupan hati yang memberikan ketentraman dan ketenangan jiwa. Dalam suasana yang demikian, perasaan dapat mengenyahkan keterasingan dan kehampaan batin lantas menciptakan suasana batin dengan kegembiraan yang meluap. Gibran melukiskan salah satu bentuk perasaan itu dalam pengalaman ciuman pertama (dlm Triloginya: Sang Nabi, Taman Sang Nabi, dan Suara Sang Guru, Yogyakarta, Pustaka Sastra, 2004)

“Kecapan pertama dari cangkir sang bidadari berisi anggur kehidupan yang sangat lezat. Garis pembeda antara keraguan yang melemahkan jiwa dan menyedihkan hati, dengan kepastian yang mengisi batin manusia dengan kegembiraan yang meluap. Intro bagi kehidupan dan awalan drama manusia sempurna. Ikatan yang menyatukan keterasingan masa lalu dengan cahaya masa depan, antara kebisuan perasaan dan senandung lagunya. Kata yang terucap oleh empat bibir, mengikrarkan bahwa hati adalah singgasana, cinta sebagai raja, dan kesetiaan adalah mahkotanya. Belaian lembut jemari angin semilir di atas kelopak mawar-teriring desah panjang pembebasan dan sebuah rintihan yang manis”

Gibran melanjutkan:

“Getar magis yang membawa para pencinta dari dunia yang penuh beban dan ukuran menuju dunia mimpi dan ilham. Penyatuan dari dua bunga yang harum semerbak, campuran dari keharuman mereka menciptakan jiwa ketiga. Bila pandangan pertama adalah benih yang ditaburkan sang dewi di ladang hati manusia, maka ciuman pertama adalah bunga di ujung dahan pohon kehidupan.”

Melalui perasaan rahasia terdalam jiwa manusia tersingkap. Dalam Senandung Asmara (dlm Martin L. Wolf (ed), Treasury of Kahlil Gibran, Yogyakarta, Tarawang Press, 2002) Gibran mempertegas hakikat perasaan tidak hanya sebagai kembang inspirasi tetapi sebagai kebenaran.

“Akulah rumah sejati sang anugerah, dan mata air kenikmatan, sumber kedamaian dan ketenteraman. Akulah ungkapan penyair, khayalan para seniman, dan ilham para pemusik. Akulah warna dari zaman ke zaman, membangun hari ini dan merusak esok harinya; aku seperti dewa, pencipta reruntuhan; aku lebih manis dari senyum bunga; tapi lebih galak dari amuk samudera. Wahai para pencari, akulah kebenaran, kebenaran sejati yang kalian cari; kebenaran yang memberi dan menerima, rawatlah aku, dan kalian akan terlindungi.”

Kebenaran diungkapkan, menyembul lewat untaian puisi para penyair, lukisan para seniman, juga senandung dendang para pemusik. Penyair, pemusik dan seniman, bagi Gibran mengikuti Willian Blake merupakan penghubung antara manusia dan Allah. William Blake melihat bahwa penyair, seniman dan pemusik sebagai malaikat dan orang suci. Mereka adalah manusia sebagaimana manusia-manusia yang lain, namun dia memiliki tugas keilahian. Artinya mereka dapat menjadi ‘lidah’ dan ‘tangan’ Allah dalam dunia untuk mengatakan tentang kebenaran-Nya.

Dengan demikian, perasaan dalam pandangan Gibran tidak berhenti sebagai ungkapan estetis, tetapi lebih dari itu sebagai wahana pembebasan. Tulisan Gibran amat kental dengan tuturan puitik mistik, oleh karenanya ia disebut penyair dan sebagian orang menyebutnya sebagai mistikus. Pandangan dan gagasannya diungkapkan menjadi sebuah tarian, sehingga penderitaan menjadi seperti sedang tersenyum. Jika dicermati dengan sungguh tulisan-tulisan Gibran sebenarnya bukan untuk tujuan estetika semata, tetapi lebih dari itu menyerukan sebuah sebuah pembebasan.

Pembebasan yang ditegaskan Gibran melalui pandangan estetikanya tidak berbeda dengan proyek pembebasan yang diproklamirkan Theodor Adorno, Herbert Marcuse atau Walter Benyamin dengan teori kritisnya. Substansi pembebasan yang ada dalam teori kritis sebenarnya adalah sebuah proyek besar bagaimana mengembalikan manusia pada “keutuhannya” serta mengenyahkan berbagai alienasi. Artinya antara manusia dengan alam, manusia dengan sesamanya, subjek dengan objek, atau aspek eksistensi manusia personal lainya tidak saling teralienasi.

Namun demikian gagasan pembebasan demi mewujudkan pengutuhan yang ditegaskan Gibran bukan semata-mata karena latar belakang politis, seperti apa yang digiatkan Adorno, Marcuse dan Benyamin. Lebih dari itu adalah karena alasan spiritual, seperti yang diperjuangkan pada abad pertengahan. Pada abad pertengahan perasaan, lebih-lebih pengalaman keindahan, dikaitkan dengan kebesaran Allah. Gibran memandang perasaan sebagai ibu yang melahirkan keindahan, dan keindahan merupakan sesuatu Yang Kudus. Sebagai sesuatu Yang Kudus, perasaan menciptakan harmoni dalam setiap pengalaman kehidupannya.

cinta kasih


Dalam agama yang kuanut
kutemukan cinta yang demikian kuat,
bahwa cinta harus diabdikan bagi kehidupan dan kemanusiaan.
Pun dalam agama lain,kutemukan kasih yang demikian indah.
Lalu, mengapa atas nama agama pula,
seseorang tidak mengenal cinta;
melakukan kekerasan, mengintimidasi,
menipu, dan menghakimi moral orang lain?


Cinta itu universal, tidak mengenal warna kulit, status sosial, dan kebangsaan seseorang. Sebagai sebuah konsep yang harus dijabarkan, cinta tidak mengenal batasan yang menyempitkan ruang bagi seseorang dalam memahami dan menjalani kehidupan berdasarkan cinta kasih. Dengan cinta, kehidupan digagas dan dibangun sehingga berproses menjadi kehidupan yang berdasarkan nilai kemanusiaan universal. Manusia dengan keistimewaannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki akal budi, dapat dengan mudah mengatur dan menilai tingkah laku diri sendiri dan komunitasnya untuk tetap berada dalam koridor yang tidak melanggar hak dasar manusia lain. Keluhuran manusia menurut Frans Magnis Suseno (1991), ”berakar dalam kenyataan bahwa ia berakal-budi. Melalui akal budi ia mengatasi keterikatan binatang pada lingkungan dan kebutuhannya sendiri. Akal budi berarti bahwa hati dan wawasan manusia merentangkan diri mengatasi segala keterbatasan ke arah cakrawala yang tak terbatas.”

Dalam banyak catatan sejarah kemanusiaan, sejarah tidak hanya ditoreh secara indah dan manusiawi, melainkan juga secara tidak beradab, di mana harkat dan hak dasar manusia diabaikan dan dilanggar secara tidak langsung maupun langsung. Hegemoni yang dilakukan oleh negara dengan menggunakan institusi birokrasi dan perangkat hukum telah melenakan kesadaran masyarakat, bahwa proses ketidakadilan dan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan yang jauh dari nilai cinta kasih sedang berlangsung secara sistematis. Masyarakat menerima keadaan ini sebagai common sense, yang tidak perlu diperdebatkan lagi.

Indonesia, dalam proses menjadinya, telah menciptakan realitas sosial yang tidak memungkinkan kita untuk menolak bahwa bangunan masyarakat dan negara merupakan hasil gesekan yang sebagian menetaskan dendam dan pembunuhan massal. Konflik politik memasuki ruang-ruang kolektifitas masyarakat yang mengadopsi konflik vertikal menjadi konflik horisontal. Masyarakat dipaksa menerima situasi politik di mana mereka harus memilih berada dalam ruang konflik atau tidak sama sekali. Persoalannya adalah struktur bangunan sosial bersinergis dengan kekuatan politik, bahkan politik menjadi kekuatan yang dominan yang menentukan sikap dan tindakan masyarakat secara personal maupun kolektif.
Lapisan masyarakat Indonesia yang terbentuk berdasarkan nilai dan kesadaran masyarakat terutama elit politiknya, telah menyajikan struktur sosial yang menempatkan masyarakat (rakyat kecil) sebagai kelas bawah yang memiliki ‘kewajiban’ sosial untuk tergantung secara ekonomi-politik kepada elit politik. Hal ini mempengaruhi wajah masyarakat pada umumnya. Masyarakat Indonesia merepsentasikan dirinya sebagai kelompok yang memiliki ikatan politik secara kultur kepada elit politik atau kelas sosial lainnya yang dianggap berada dalam hirarkhi lebih tinggi.

Bagi Umar Kayam, hal di atas dipahami sebagai pentas suatu sistem nilai yang menekankan pada keselarasan hirarkis, rukun, anti konflik, halus (dsbnya) yang merupakan ramuan nilai yang sangat mendukung kelangsungan sistem feodal. Yang bawah mengacu kepada yang atas, yang atas mengacu kepada yang berada di atasnya lagi, sehingga hanya lapisan atas beserta jajarannya yang menikmati semua keistimewaan. Sementara, rakyat kecil, hanya dibebankan pada tanggung jawab untuk mengabdi kepada atasan.

Cinta kasih terhadap manusia lain menjadi sangat penting untuk dilakukan, karena berangkat dari rasa cinta, kehidupan ini dapat dipertahankan. Cinta kasih orang tua terhadap anak dan sebaliknya, dinyatakan dalam keseharian interaksi yang berlangsung dalam rumah dan sekitarnya. Cinta teman terhadap teman tidak hanya terhenti dalam suasana bahagia, tetapi akan lebih teruji ketika dalam susah, di mana seorang teman/sahabat tetap memberikan perhatian dan kepeduliannya. Berbagi secara ekonomi dan sosial adalah hal yang dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan dan kesempatan yang lebih baik. Seorang pejabat atau tokoh masyarakat memiliki tanggung jawab sosial untuk memberi dan berbagi kepada orang miskin. Konsep berbagi dan memberi kepada orang yang membutuhkan adalah implementasi cinta kasih yang paling dasar.

Bagi Erich Fromm cinta itu adalah proses menjadi. Seseorang akan mengalami kemajuan ketika mengimplementasikan relasi cinta terhadap sesamanya. Cinta melahirkan tindakan-tindakan yang memberi dalam bentuk perhatian dan kepedulian terhadap lingkungannya. Perhatian pemerintah terhadap rakyatnya adalah keharusan. Pada pemerintahan yang tidak demokratis, kewajiban dalam memenuhi kesejahteraan, keadilan, dan kebebasan bagi rakyat tidak akan dipenuhi, karena tak ada konsep cinta dalam sebuah pemerintahan yang tidak demokratis.

Sejarah panjang negeri ini dipenuhi catatan kejahatan dan kekerasan yang menistakan kemanusiaan. Kekuasaan Orde Baru telah ajarkan kepada kita bahwa tak ada cinta kasih dalam kekuasaan yang otoriter. Sebaliknya, kerusuhan demi kerusuhan dibiarkan terjadi, penggusuran perkampungan miskin dilakukan tanpa solusi penyelesaian. Peristiwa 27 Juli semakin menegaskan sikap dan watak politik Orde Baru yang mensahkani semua cara untuk mempertahankan status quo.

Cinta kasih bukan sesuatu yang abstrak, ia ada sebagai energi peradaban, menyatu dan mempengaruhi kehidupan manusia. Manifestasi dari cinta kasih adalah pengakuan dan perlindungan terhadap diri sendiri dan orang lain dalam menjalankan kehidupan yang damai, dan sejahtera atas dasar kemanusiaan. Oleh karena itu, hak dasar sebagai manusia yang merdeka harus dipenuhi. Kebebasan berekspresi dalam berkesenian dan berkarya serta dalam mengaktualisasikan ide-ide pribadi merupakan bagian dari hak dasar manusia. Rasa aman, nyaman, dan bebas menjadi instrumen penting dalam mengapresiasikan dan mengembangkan diri. Catatan sejarah, telah sodorkan kenyataan bahwa kebebasan adalah awal dari kemajuan sebuah bangsa. Pencerahan di Eropa telah melahirkan ilmu pengetahuan yang menghasilkan kemajuan dan ragam teknologi. Untuk itu, dalam memajukan sebuah peradaban dibutuhkan cinta kasih yang melepaskan semua batasan warna kulit, agama, kebangsaan, dan ideologi.
@by dewi djakse