Jumat, 29 Februari 2008

Seruling Perdamaian Jalaludin RUMI

sebagai tokoh humanis terbesar, Maulana Rumi mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan kemanusiaan. Pada setiap karyanya, terutama Matsnawi dan Fihi Ma Fihi terkandung pesan yang begitu berharga bagi kehidupan manusia di dunia, yaitu terciptanya “perdamaian abadi”. Buku ini, khususnya Matsnawi bagi masyarakat Iran dianggap sebagai “kitab suci kedua” setelah al-Quran, karena mengandung petunjuk dan ajaran mulia bagi umat manusia yang dapat mengantarkan mereka ke tujuan paripurna. Kini kita hidup 800 tahun setelah Maulana Rumi, namun pesan damai yang sempat ditorehkannya dalam lembaran-lembaran kitab dan petuah-petuah nasehat rasanya masih relevan dengan kehidupan manusia zaman ini. Zaman di mana pertikaian sering terjadi, kebencian dan kemurkaan dipeliha-ra, kekerasan dan penindasan ditanamkan, serta kejujuran dan kebenaran selalu diabaikan.Pada zaman seperti itu, damai adalah kata yang teramat mahal bagi setiap orang, bangsa, dan kelompok. Damai menjadi kata yang terus diperjuangkan dan dipertaruhkan. Setiap usaha untuk menggapainya tak jarang menelan korban harta dan jiwa yang begitu banyak. Hingga kini, betapa jurang pemisah di antara bangsa-bangsa dunia semakin menganga lebar, ditambah kemudian dengan sikap intoleransi, dan pupusnya solidaritas sosial semakin membangkitkan sikap egoisme dan individualisme. Konflik yang saat ini masih terjadi di Irak dan Afghanistan, serta ratusan konflik yang pernah melanda Indonesia semakin membenarkan hal itu semua.
Untuk menyelesaikan konflik yang kian menyambang kehidupan manusia dari masa ke masa, Maulana Rumi mencari akar penyebabnya, sekaligus menawarkan sebuah solusi yang dapat menghantarkan mereka kepada kedamaian dan perdamaian abadi.

”Seruling Bambu” bagi Rumi adalah simbol perdamaian. Menurutnya, seruling merupakan analogi yang tepat bagi bangsa dunia yang mendambakan perdamaian. Karena, darinya lahir berbagai lagu yang coba diekspresikan melalui kekuatan angin yang keluar dari mulut seseorang saat meniup alat musik itu. Bila setiap bangsa, dan juga komunitas dunia meniup seruling itu dengan penuh kesadaran dan dalam kesatuan yang padu, maka akan mengeluarkan suara yang merdu dan menggugah setiap pendengarnya hingga menyejukan hati dan mendamaikan jiwa. Dengan cara memadukan seruling yang satu dengan seruling yang lainnya akan tercipta perdamaian dan kedamaian abadi. Kesadaran inilah yang harus diciptakan masyarakat dunia.

Humanisme-toleran
Kehadiran Rumi di tengah kepenatan hidup dan kebekuan berpikir seperti sekarang ini sungguh sangat diperlukan dan dinanti. Ia tidak saja mampu melantunkan bait-bait syair yang merdu di tengah kebisingan dunia, tapi juga memiliki ajaran-ajaran mulia yang dibutuhkan manusia modern saat ini.Sebagai guru sejagat, Rumi laksana lautan tak bertepi dan bumi tak terjejaki. Ia selalu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk bersikap toleran dan solider terhadap sesama, peduli akan penderitaan nasib orang, menerima kelompok lain untuk hidup berdampingan sambil bergandengan tangan tanpa pertentangan dan perselisihan, serta memiliki tanggung jawab untuk mengabdikan hidupnya demi kemanusiaan.Sikap egois, ingin menang sendiri, dan merasa dirinya paling suci dan benar seperti yang terjadi dan bahkan mewarnai kehidupan dunia ini menjadi kritikan dan perhatian Rumi. Baginya, sikap-sikap seperti itu tidak akan dapat menyelesaikan masalah dalam hubungannya dengan orang di luar diri kita dan kelompok yang berbeda pandangan dengan kita. Hal demikian justru hanya akan memperuncing masalah, mempertajam perselisihan, menyulut api peperangan, menanamkan kebencian, dan sesekali akan melahirkan tragedi yang berdarah-darah. selama hidupnya, Rumi bergaul dan memiliki banyak murid yang berasal dari berbagai kalangan, agama, suku, budaya, dan tradisi. Mereka semua diperlakukan Rumi dengan penuh cinta dan kasih sayang, tanpa pandang bulu. Baginya sikap seperti ini akan melahirkan kedamaian dalam diri seseorang dan kedamaian untuk alam semesta