Sepanjang sejarah manusia, banyak sekali terjadi peperangan dan yang terbesar adalah ialah Perang Dunia Pertama dan Kedua. Beberapa waktu yang lalu, para politikus dan cendikiawan Amerika telah memunculkan istilah Perang Dunia Ketiga dan Keempat. Istilah ini untuk pertama kali, digunakan oleh Profesor Elliot Cohen, dosen Universitas John Harbinger, Amerika, selepas peristiwa 11 September 2001. Dia menamakan perang dingin antara negara-negara Barat yang dipimpin oleh Amerika dengan Uni Soviet sebagai Perang Dunia Ketiga. Perang ini berakhir dengan kemenangan Barat dan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Menurut kepercayaan Cohen, Perang Dunia Keempat sedang terjadi antara Amerika dan dunia Islam, serta akan terus berlanjut. Suratkabar Al-Zaman terbitan London yang menukil pernyataan mantan Panglima Tentara AS, Jenderal Tommy Franks, menulis bahwa operasi militer ke Irak merupakan peperangan melawan terorisme dan Perang Dunia Keempat.
Perang ini dimulai pada 11 September dan berlanjut dengan invasi ke Afghanistan dan Irak. Proses ini akan berakhir di poros kejahatan. Oleh karena itu, menurut pandangan kelompok ambisius perang Gedung Putih, perang dengan dunia Islam merupakan awal dimulainya Perang Dunia Keempat dan akan terus berlanjut.
Untuk memahami pandangan kelompok neo konservatif Amerika mengenai perang dengan lebih detail, sebaiknya kita juga meninjau pandangan mereka mengenai perang. Doktor Hassan Abbasi, dosen Universitas dan ketua salah satu pusat penelitian Iran, mengenai masalah ini menyatakan, “Ideologi yang membangun peradaban Barat adalah liberalisme, nasionalisme, dan sosialisme. Perang-perang dunia yang telah terjadi merupakan perang antara ketiga ideologi Barat tersebut.”
James Woolsey, salah seorang pemimpin sayap neo konservatif dan bekas ketua CIA mengenai masalah ini mengatakan, “Perang Dunia Pertama, Kedua, dan Ketiga terjadi di dalam era modernisasi dan peradaban Barat.” Menurut penasehat pusat penelitian strategis Washington, Z. Brezensky, 175 juta orang di dunia telah terbunuh akibat ketiga perang yang menakutkan itu, yang merupakan hasil pertentangan dunia Barat dan keinginan mereka untuk menjadi pihak yang terkuat.
Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, oleh sebagian analis politik disebut sebagai kemenangan paham liberalisme terhadap sosialisme. Francis Fukuyama, seorang peneliti di sebuah lembaga penelitian yang terkait dengan Angkatan Udara Amerika, menyebut bahwa kemenangan liberalisme ini merupakan berakhirnya sejarah. Dia percaya bahwa liberalisme adalah fokus ideologi manusia dan ujung dari pemikiran manusia. Fukuyama dalam buku “Berakhirnya Sejarah” menulis, “Manusia hari ini telah sampai ke satu tahap di mana mereka tidak lagi dapat membedakan antara dunia hakiki dengan dunia hari ini, karena infrastruktur yang ada saat ini tidak menunjukkan indikasi akan berubah ke arah yang lebih baik.”
Di pihak lain, mengingat besarnya peran Amerika dalam era Perang Dingin, para politikus dan penulis Amerika menyebutkan bahwa negara inilah yang menguasai dunia selepas keruntuhan Uni Soviet. James Woolsey dengan menunjukkan bahwa dewasa ini, dari 192 negara dunia, 120 di antaranya menggunakan sistem demokratik, dia mengklaim bahwa Amerika memainkan peran yang mencolok dalam membangun sistem ini. William Kristol, salah seorang pemimpin sayap neo-konservatif Amerika menulis, “Amerika tidak saja harus menjadi polisi dunia, bahkan Amerika harus menjadi pembimbing warga dunia.” Melihat pandangan-pandangan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa para politikus dan pemikir Barat menginginkan agar konsep demokrasi liberal Barat dan kepemimpinan Amerika menguasai seluruh dunia.
Namun demikian, para teoritikus dan politisi Barat akan segera berhadapan dengan realitas yang lain. Bertentangan dengan apa yang mereka harapkan, sebuah paham lain tengah berkembang di dunia dan mempunyai pengikut yang banyak. Paham tersebut adalah ajaran Islam yang pada dekade terakhir ini mulai hidup kembali dan mendapatkan perhatian dari seluruh dunia, termasuk Amerika dan Eropah. Secara tertulis, paham liberalisme menjamin kebebasan penyampaian pendapat dan memiliki kepercayaan. Namun, dalam pelaksanaannya, kebebasan itu hanya berlaku bila tidak merugikan pemilik kekayaan dan kekuasaan. Kini, sejalan dengan berkembangnya nilai-nilai Islami, seperti tuntutan atas kebebasan dan kebencian terhadap kezaliman, orang-orang yang berpaham liberalisme itu melupakan konsep kebebasan mereka.
Karena akan merugikan kepentingan kaum berkuasa di Barat, agama Islam yang anti kezaliman ini malah ditekan dan ditentang. Dalam rangka inilah, Samuel Huttington, teoritikus Amerika menyajikan teori ‘perang antar peradaban’. Dalam teorinya itu, Hutington mempertentangkan peradaban Barat dengan peradaban-peradaban lain, khususnya Islam, dan akhirnya terjadi peperangan di antara peradaban itu. Peperangan inilah yang disebut oleh para teoritikus Amerika sebagai Perang Dunia Keempat.
Sebagian cendikiawan menyebut faktor lain yang menyebabkan kebencian Barat terhadap Islam. Mereka percaya bahwa pemerintah Barat, khususnya Amerika, senantiasa memerlukan musuh asing demi melaksanakan ambisinya untuk menguasai negara lain dan untuk menipu rakyatnya. Professor Noam Chomsky, pakar bahasa dan politik Amerika dalam suratkabar Al-Hayat menulis, “Hampir setiap 60 tahun, untuk melindungi dirinya, Barat selalu melukiskan gambar musuh khayalannya. Di sepanjang era Perang Dingin, Uni Soviet-lah yang harus memikul tanggungjawab sebagai musuh khayalan ini. Strategi menciptakan musuh dan membesar-besarkan adanya bahaya dapat menyibukkan rakyat. Rakyat akan diseret untuk percaya penuh kepada sistem yang sedang berkuasa dan lupa pada kondisi buruk di dalam negeri.”
Pemerintah dan penulis Amerika menjustifikasi kebencian Washington terhadap dunia Islam dengan berbagai cara. James Woolsey menyebut perang dengan dunia Islam adalah perlawanan antara kebebasan dan despotisme. Dengan mengubah realitas, dia mengklaim bahwa bukan Amerika yang memulai Perang Dunia Keempat, melainkan rezim Irak dan negara-negara Islam. Padahal, di pernyataan Woolsey lainnya, menunjukkan dengan jelas bahwa kelompok konfrontatif Gedung Putihlah yang menjadi penyebab utama invasi AS ke negara-negara Islam. Pada bulan September 2002, ketika menyampaikan teori tentang Perang Dunia Keempat, Woolsey mengatakan, “Amerika akan berhadapan dengan 22 negara dalam Perang Dunia Keempat ini. Kami telah menyerang Afghanistan dan Irak. Kini masih tersisa 20 negara lainnya. Di antara ke-20 negara itu, hanya Korea Utara yang bukan negara Islam. Negara ketiga yang akan kami serang ialah Suriah, negara keempat adalah Iran, dan negara kelima adalah Saudi Arabia.”
Di pihak lain, sejak beberapa tahun lalu, Barat telah melakukan serangan budaya ke negara-negara Islam dengan tujuan untuk menghapuskan identitas umat Islam. Dalam rangka ini, mereka menggunakan radio, televisi, satelit, internet, dan berbagai sarana komunikasi yang lain. Barat mengetahui, dengan menyeret umat Islam kepada kerusakan moral, mereka akan menjauhi nilai-nilai Islam seperti keadilan, anti kezaliman, spiritualitas, dan persahabatan. Sebaliknya, jika umat Islam menjalankan nilai-nilai dan ajaran Islam dengan konsisten, paham liberalisme, imperialisme, dan kapitalisme akan tumbang.
Namun demikian, banyak cendikiawan, termasuk dari Barat, percaya bahwa Perang Dunia Keempat yang ingin dilancarkan oleh kelompok neo konservatif AS tidak akan bisa menyelamatkan liberal-demokrasi dan sekularisme Barat, atau menghancurkan dan melemahkan Islam. Brezensky, analis strategis terkenal Amerika dan penasihat keamanan nasional pemerintahan James Carter menulis, “Saya tidak berpikir bahwa Barat dalam bentuknya sekarang merupakan standar yang terbaik bagi hak asasi manusia. Sekularisme Barat pada dasarnya merupakan sebuah gelombang kebudayaan yang memiliki paham bahwa sebuah kehidupan yang baik itu harus dipenuhi dengan kegairahan, kesenangan, dan konsumerisme. Namun, fitrah manusia jauh lebih tinggi dari kesenangan materi itu. Sekularisme sedemikian meluas di Barat sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan budaya. Oleh karena itu, saya berpikir bahwa posisi adidaya Amerika secara gradual akan musnah.”
Apapun juga, dengan dimulainya Perang Dunia Keempat oleh kelompok konfrontatif Gedung Putih dan kemenangan mereka dalam perang terhadap dua negara, yaitu Afghanistan dan Irak, sama sekali tidak bermakna bahwa mereka telah menguasai dunia Islam. Malah sebaliknya, langkah yang tidak berperi kemanusiaan ini, yang lahir dari jiwa tamak yang menguasai liberalisme Barat, akan menyeret Barat ke arah kehancurannya sendiri.
Perang ini dimulai pada 11 September dan berlanjut dengan invasi ke Afghanistan dan Irak. Proses ini akan berakhir di poros kejahatan. Oleh karena itu, menurut pandangan kelompok ambisius perang Gedung Putih, perang dengan dunia Islam merupakan awal dimulainya Perang Dunia Keempat dan akan terus berlanjut.
Untuk memahami pandangan kelompok neo konservatif Amerika mengenai perang dengan lebih detail, sebaiknya kita juga meninjau pandangan mereka mengenai perang. Doktor Hassan Abbasi, dosen Universitas dan ketua salah satu pusat penelitian Iran, mengenai masalah ini menyatakan, “Ideologi yang membangun peradaban Barat adalah liberalisme, nasionalisme, dan sosialisme. Perang-perang dunia yang telah terjadi merupakan perang antara ketiga ideologi Barat tersebut.”
James Woolsey, salah seorang pemimpin sayap neo konservatif dan bekas ketua CIA mengenai masalah ini mengatakan, “Perang Dunia Pertama, Kedua, dan Ketiga terjadi di dalam era modernisasi dan peradaban Barat.” Menurut penasehat pusat penelitian strategis Washington, Z. Brezensky, 175 juta orang di dunia telah terbunuh akibat ketiga perang yang menakutkan itu, yang merupakan hasil pertentangan dunia Barat dan keinginan mereka untuk menjadi pihak yang terkuat.
Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, oleh sebagian analis politik disebut sebagai kemenangan paham liberalisme terhadap sosialisme. Francis Fukuyama, seorang peneliti di sebuah lembaga penelitian yang terkait dengan Angkatan Udara Amerika, menyebut bahwa kemenangan liberalisme ini merupakan berakhirnya sejarah. Dia percaya bahwa liberalisme adalah fokus ideologi manusia dan ujung dari pemikiran manusia. Fukuyama dalam buku “Berakhirnya Sejarah” menulis, “Manusia hari ini telah sampai ke satu tahap di mana mereka tidak lagi dapat membedakan antara dunia hakiki dengan dunia hari ini, karena infrastruktur yang ada saat ini tidak menunjukkan indikasi akan berubah ke arah yang lebih baik.”
Di pihak lain, mengingat besarnya peran Amerika dalam era Perang Dingin, para politikus dan penulis Amerika menyebutkan bahwa negara inilah yang menguasai dunia selepas keruntuhan Uni Soviet. James Woolsey dengan menunjukkan bahwa dewasa ini, dari 192 negara dunia, 120 di antaranya menggunakan sistem demokratik, dia mengklaim bahwa Amerika memainkan peran yang mencolok dalam membangun sistem ini. William Kristol, salah seorang pemimpin sayap neo-konservatif Amerika menulis, “Amerika tidak saja harus menjadi polisi dunia, bahkan Amerika harus menjadi pembimbing warga dunia.” Melihat pandangan-pandangan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa para politikus dan pemikir Barat menginginkan agar konsep demokrasi liberal Barat dan kepemimpinan Amerika menguasai seluruh dunia.
Namun demikian, para teoritikus dan politisi Barat akan segera berhadapan dengan realitas yang lain. Bertentangan dengan apa yang mereka harapkan, sebuah paham lain tengah berkembang di dunia dan mempunyai pengikut yang banyak. Paham tersebut adalah ajaran Islam yang pada dekade terakhir ini mulai hidup kembali dan mendapatkan perhatian dari seluruh dunia, termasuk Amerika dan Eropah. Secara tertulis, paham liberalisme menjamin kebebasan penyampaian pendapat dan memiliki kepercayaan. Namun, dalam pelaksanaannya, kebebasan itu hanya berlaku bila tidak merugikan pemilik kekayaan dan kekuasaan. Kini, sejalan dengan berkembangnya nilai-nilai Islami, seperti tuntutan atas kebebasan dan kebencian terhadap kezaliman, orang-orang yang berpaham liberalisme itu melupakan konsep kebebasan mereka.
Karena akan merugikan kepentingan kaum berkuasa di Barat, agama Islam yang anti kezaliman ini malah ditekan dan ditentang. Dalam rangka inilah, Samuel Huttington, teoritikus Amerika menyajikan teori ‘perang antar peradaban’. Dalam teorinya itu, Hutington mempertentangkan peradaban Barat dengan peradaban-peradaban lain, khususnya Islam, dan akhirnya terjadi peperangan di antara peradaban itu. Peperangan inilah yang disebut oleh para teoritikus Amerika sebagai Perang Dunia Keempat.
Sebagian cendikiawan menyebut faktor lain yang menyebabkan kebencian Barat terhadap Islam. Mereka percaya bahwa pemerintah Barat, khususnya Amerika, senantiasa memerlukan musuh asing demi melaksanakan ambisinya untuk menguasai negara lain dan untuk menipu rakyatnya. Professor Noam Chomsky, pakar bahasa dan politik Amerika dalam suratkabar Al-Hayat menulis, “Hampir setiap 60 tahun, untuk melindungi dirinya, Barat selalu melukiskan gambar musuh khayalannya. Di sepanjang era Perang Dingin, Uni Soviet-lah yang harus memikul tanggungjawab sebagai musuh khayalan ini. Strategi menciptakan musuh dan membesar-besarkan adanya bahaya dapat menyibukkan rakyat. Rakyat akan diseret untuk percaya penuh kepada sistem yang sedang berkuasa dan lupa pada kondisi buruk di dalam negeri.”
Pemerintah dan penulis Amerika menjustifikasi kebencian Washington terhadap dunia Islam dengan berbagai cara. James Woolsey menyebut perang dengan dunia Islam adalah perlawanan antara kebebasan dan despotisme. Dengan mengubah realitas, dia mengklaim bahwa bukan Amerika yang memulai Perang Dunia Keempat, melainkan rezim Irak dan negara-negara Islam. Padahal, di pernyataan Woolsey lainnya, menunjukkan dengan jelas bahwa kelompok konfrontatif Gedung Putihlah yang menjadi penyebab utama invasi AS ke negara-negara Islam. Pada bulan September 2002, ketika menyampaikan teori tentang Perang Dunia Keempat, Woolsey mengatakan, “Amerika akan berhadapan dengan 22 negara dalam Perang Dunia Keempat ini. Kami telah menyerang Afghanistan dan Irak. Kini masih tersisa 20 negara lainnya. Di antara ke-20 negara itu, hanya Korea Utara yang bukan negara Islam. Negara ketiga yang akan kami serang ialah Suriah, negara keempat adalah Iran, dan negara kelima adalah Saudi Arabia.”
Di pihak lain, sejak beberapa tahun lalu, Barat telah melakukan serangan budaya ke negara-negara Islam dengan tujuan untuk menghapuskan identitas umat Islam. Dalam rangka ini, mereka menggunakan radio, televisi, satelit, internet, dan berbagai sarana komunikasi yang lain. Barat mengetahui, dengan menyeret umat Islam kepada kerusakan moral, mereka akan menjauhi nilai-nilai Islam seperti keadilan, anti kezaliman, spiritualitas, dan persahabatan. Sebaliknya, jika umat Islam menjalankan nilai-nilai dan ajaran Islam dengan konsisten, paham liberalisme, imperialisme, dan kapitalisme akan tumbang.
Namun demikian, banyak cendikiawan, termasuk dari Barat, percaya bahwa Perang Dunia Keempat yang ingin dilancarkan oleh kelompok neo konservatif AS tidak akan bisa menyelamatkan liberal-demokrasi dan sekularisme Barat, atau menghancurkan dan melemahkan Islam. Brezensky, analis strategis terkenal Amerika dan penasihat keamanan nasional pemerintahan James Carter menulis, “Saya tidak berpikir bahwa Barat dalam bentuknya sekarang merupakan standar yang terbaik bagi hak asasi manusia. Sekularisme Barat pada dasarnya merupakan sebuah gelombang kebudayaan yang memiliki paham bahwa sebuah kehidupan yang baik itu harus dipenuhi dengan kegairahan, kesenangan, dan konsumerisme. Namun, fitrah manusia jauh lebih tinggi dari kesenangan materi itu. Sekularisme sedemikian meluas di Barat sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan budaya. Oleh karena itu, saya berpikir bahwa posisi adidaya Amerika secara gradual akan musnah.”
Apapun juga, dengan dimulainya Perang Dunia Keempat oleh kelompok konfrontatif Gedung Putih dan kemenangan mereka dalam perang terhadap dua negara, yaitu Afghanistan dan Irak, sama sekali tidak bermakna bahwa mereka telah menguasai dunia Islam. Malah sebaliknya, langkah yang tidak berperi kemanusiaan ini, yang lahir dari jiwa tamak yang menguasai liberalisme Barat, akan menyeret Barat ke arah kehancurannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar